Lihat ke Halaman Asli

Arya BayuAnggara

Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Kala Negara Harus Membayar Utangnya kepada Warga Biasa

Diperbarui: 16 September 2022   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Artikel ini telah ditayangkan di website kecil-kecilan kami, Jurnal Harian 

Ketika membaca artikel ini, dari judulnya saja, kami sudah tercengang. Sebab awamnya kami terhadap sistem hukum di Indonesia, terutama hukum utang-piutang, tidak pernah kami berpikir sedetik pun tentang adanya peluang kasus ini muncul ke permukaan.

Lebih unik lagi, sebab penggugat dalam kasus ini berasal dari Kota Padang. Sudah menjadi rahasia umum, kebanyakan masyarakat di Sumatera Barat tidak menyukai pemerintahan Presiden Joko Widodo. Juga sudah lazim bagi masyarakat untuk menyebut masyarakat Sumatera Barat dengan sebutan "Orang Padang" saja. 

Hanya saja, kali ini memang penggugatnya adalah penduduk Kota Padang. 

Penggugat dimenangkan oleh Pengadilan Negeri Padang tentang gugatan utang negara kepada warga sipil. Secara spesifik, disebutkan bahwa orang tua penggugat telah meminjamkan dana kepada pemerintah Indonesia di tahun 1950. 

Selama ini, kita hanya mengetahui bahwa negara hanya berutang kepada sesama negara saja. Dalam banyak buku pendidikan dan pemberitaan media massa, Ikhwal saling pinjam duit antarnegara adalah hal yang lumrah. Namun, kasus ini seakan-akan memberikan pencerahan baru kepada kita. Bahwa, ada peluang bahwa seorang warga biasa juga bisa meminjamkan dana kepada negara, dan negara sebagai pihak yang dipinjamkan berhak mengembalikan dana kepada pihak peminjam (warga sipil) lengkap dengan bunganya.

Disebabkan ada bunga peminjaman, dapatlah kita pahami bahwa jumlah dana yang seharusnya dibayarkan negara kepada penggugat membengkak dari nilai aslinya. Secara rentang waktu saja, dari tahun 1950 hingga 2022, banyak terjadi perubahan struktur perekonomian dan perubahan nilai mata uang Rupiah sendiri.

Pada awalnya, orang tua dari penggugat meminjamkan dana sebesar delapan puluh ribu tiga ratus rupiah. Dari dana yang dipinjamkan oleh warga tersebut, terdapat besaran bunga tiga persen perbulan. Setelah tujuh puluh dua tahun, dengan dikonversikan ke nilai mata uang Rupiah saat ini, maka negara harus membayarkan dana sebesar enam puluh dua miliar rupiah. 

Angka yang cukup besar. Meskipun angka enam puluh dua miliar masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan besaran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai triliunan itu, tetapi tetap saja pembayaran piutang tersebut merupakan catatan uang keluar bagi pembukuan keuangan negara. Di tengah sulitnya keadaan perekonomian saat ini, sampai-sampai setiap pengeluaran dalam bentuk apapun, termasuk subsidi, diteliti ulang oleh negara. Tentu pengeluaran enam puluh dua miliar menjadi catatan noda lain yang harus diperhatikan dengan seksama oleh pihak pemerintah. 

Dengan adanya kasus ini, kita dirangsang untuk kembali membuka lembaran sejarah periode awal berdirinya Republik. Apa yang terjadi di tahun 1950? Kenapa sampai warga biasa bisa meminjamkan dana kepada pemerintah? Kenapa pinjaman dana oleh warga sipil itu urung dibayarkan kembali oleh negara hingga tujuh puluh tahun lamanya?

Kasus ini memang aneh. Semoga saja kita masih mendapatkan pembaruan beritanya nanti. Apakah benar negara pada akhirnya membayarkan uang sebesar itu kepada penggugat, atau masih ada upaya-upaya lain oleh negara untuk mengelak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline