Kisah-kisah serupa banyak diceritakan. Salah satunya cerpen yang dimuat di buku Cerpen Pilihan Kompas Tahun 2014. Buku yang sampulnya dua balita telanjang saling tegur sapa; menyeruak dari dalam bilik pokoknya itu. Kumpulan cerpen di buku ini, dengan salah satu cerpen di buku pilihan Kompas tersebut, sama-sama menyadarkan kita bahwa kisah-kisah heroik era reformasi tidak seindah bayangan. Berselimut romansa dan patriotisme. Kenyataannya, pahit dan getir. Demi demokrasi. Demi rakyat Indonesia. Yang sayangnya, para martir demokrasi itu bahkan tidak dikenal oleh rakyatnya sendiri.
Banyak juga kisah-kisah di luar bahasan era reformasi yang sarat pengadilan rakyat. Tetap disediakan cerita-cerita nyeleneh dan penuh kritik sosial. Berpusat kepada dinamika rakyat kecil, mahasiswa, dan era Baru. Sepertinya, ketiga hal tersebut berjalan beriringan. Rakyat kecil butuh kejelian dan daya nalar mahasiswa. Mahasiswa mengolah rasa rakyat kecil untuk diperjuangkan. Puncaknya, terciptalah era baru yang diharapkan. Kalau memang bisa demikian.
Jika mahasiswa sendiri mandek saluran komunikasinya, dinding toilet bisa menjadi alternatif. Di dalam bilik dua kali satu meter, semua pikiran bisa timbul dan memberontak ingin disalurkan. Cukup ditulis di dinding dan tunggu responnya. Mana tau, ada di antara mahasiswa lain yang akan mengadukan nasib buruknya di sana. Bisa jadi ayahnya baru saja ditangkap sebab melawan cukong. Ada juga temanmu yang kesulitan dapat jatah tidur di kampus akan datang mengadu. Bisa pula ada kawanmu yang mendengar kabar angin ikut berbagi. Kisah bandit kecil dan orang gila misalnya? Atau, perlukan untaian keluh-kesah itu bersambung setiap malam hingga mencapai 1001 malam?
Ditulis di Pekanbaru pada 3 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H