Instagram bukan sekedar tempat berbagi foto atau momen. Instagram juga menjadi tempat berbagi pikiran. Bisa juga tempat berbagi umpatan dan kekecewaan. Biasanya semua ini berpadu di kolom komentar.
Ada yang cukup berani berkomentar dengan akun asli. Nama asli. Sekalian foto profil diri sendiri.
Ada juga yang hanya berani berkomentar dengan akun ke sekian. Nama entah apa. Foto profil entah punya siapa.
Konon, semua orang bisa menjadi pakar di dunia Instagram. Mungkin benar. Lagian, itu konsekuensi dari bebasnya memberikan pendapat. Suatu hal yang tidak bisa dielakkan.
Termasuk dua kisah kami. Salah satunya, berhubungan dengan ditolaknya banding Jaksa Penuntut Umum dari Pekanbaru ke Mahkamah Agung. Dari premisnya, sepertinya Kompasianer sudah paham, ini berkonteks di kasus mana bibir mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.
Terkhusus berita penolakan Mahkamah Agung, sebelum melihat kolom komentar pun, kita sudah menyadari bahwa reaksinya tidak akan menyenangkan. Kebanyakan hanya umpatan dan kekesalan. Sekalian ungkapan kebencian, betapa buruk sistem peradilan di negeri ini. Tentunya ini menurut pihak yang kecewa. Mungkin ini juga yang dimaksud Pak Kamaruddin Simanjuntak, bahwa keadilan di Indonesia di bawah masa kepresidenan Presiden Joko Widodo berstatus terburuk (?)
Salah satu akun yang menyiarkan berita heboh tersebut adalah akun Instagram yang menyebarkan banyak berita tentang kemahasiswaan Universitas Riau. Berita itu menyebar dengan cepat. Secepat itu pula tanggapan yang sudah pasti didominasi miring di kolom komentar.
Terdapat satu komentar yang melawan arus tren. Komentar itu justru memberikan penekanan terhadap realita hukum yang ada. Banding terhadap putusan bebas SH sudah final dan mengikat. Tidak seharusnya pihak-pihak lain menuduh dan memberikan sanksi-sanksi lain kepada SH. Lebih lanjut, sudah semestinya nama baik SH dipulihkan.
Gayung bersambut. Salah satu akun milik sosok mahasiswa penting nimbrung. Sudah bisa ditebak, dia meradang dengan komentar sang bapak.
Dari awal saja dia sudah mencerocos dengan keras. Tidak ada relevansi katanya. Sebab Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan Peraturan Menteri Pendidikan sebagai landasan hukum di dalam mengadili banding kasus SH. Sebagai penutup, sang mahasiswa menegaskan bahwa bisa jadi si SH melanggar kode etik, dan semestinya dihukum karena pelanggaran kode etik itu.
Tidak butuh waktu bagi bang bapak untuk membalas. Kode etik apa lagi yang dilanggar? Katanya. Argumentasi sang bapak terlihat lebih keren dibandingkan teks ngamuk versi sang mahasiswa. Pembuktian tertinggi adalah pembuktian di pengadilan, tandas sang bapak. Lebih lanjut, sang bapak juga mengingatkan kembali potensi bala yang akan menghantam barisan mahasiswa. Jangan lupa, kalau si SH belum mencabut laporan pencemaran nama baiknya. Sang bapak menutup, bahwa barisan mahasiswa sebaiknya berdoa dan berharap agar si SH mau berbaik hati mencabut laporannya.