Pada suatu hari selepas pulang sekolah, kegiatan menonton TV tidak boleh alfa dilakukan. Di dalam ruangan berukuran 5x4 meter, kami duduk dan menatap layar TV dengan tenang. Udara selalu terasa dingin di lereng Gunung Marapi. Siang hari itu hanya sedikit hawa panas menghangatkan tubuh kami. Dengan cekatan, kami memindah kanal TV sesuka hati. Cukup ditonton sekilas acara sebuah kanal lalu pencet untuk berpindah. Tapi, kebiasaan kami ini terhenti ketika layar menampilkan foto seseorang.
Dia terlihat muda. Maskulin. Garang. Sebab fotonya hitam-putih, jelaslah dia sudah lama meninggal. Kalaupun hidup, dia tinggal menunggu jatah. Lebih terkejut lagi, ketika kami membaca tulisan di dalam kolom berwarna biru laut itu. Si Binatang Jalang. Siapa binatangnya? Jekenapa jalang? Maksudnya, si pria di dalam foto itu binatang jalangm kami tidak paham.
Sejenak, kami merelakan sekitar 30 menitan waktu kami untuk mengikuti narasi dari program tersebut. Tidak banyak yang kami pahami. Kecuali, ketika sebuah video hitam-putih menampilkan seorang pria muda mengucap sembari menunjuk langit. Di sebuah kota itu, orang-orang menatap pria itu dan terpana dibuatnya. Ketika pria itu menyuruh mereka masuk, maka mereka pun masuk. Mengikuti pria itu. Sebuah peragaan yang juga membuat kami terpana.
Setelah muadzin selesai menghimbau umat dari Masjid Asy Syifa, program TV yang identik dengan wajah rajawali itu turut usai. Sebuah makam diperlihatkan. Bernisan bertulisan Chairil Anwar. Narator berkata, Si Binatang Jalang telah menepati janjinya. Tepat 1000 bulan setelah puisinya, dia berpulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H