Lihat ke Halaman Asli

Arya BayuAnggara

Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Inner Sanctum (I), Tentang Benua Ini

Diperbarui: 10 Januari 2019   09:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Parman berjalan dengan sangat lesu. Perjalanan jauh ini tidak begitu ia sukai. Ketika ia menengok ke arah belakang, tidak ada yang terlihat selain awan hitam yang begitu pekatnya. Desa kecil itu benar-benar seperti akan tertelan oleh awan pekat itu. Tidak jelas, apakah itu benar-benar awan atau apa. 

Yang jelas, sesuatu yang begitu hitam pekat itu telah menimbulkan perpecahan di dalam konsil para tetua.
"Tuan Lav, sebagai pemimpin dari konsil tetua, apa yang ingin ada katakan perihal tetua muda yang kita usir itu? Apa dia memang pantas diperlakukan seperti itu?? Dia telah memberikan solusi yang katanya berasal dari benua yang jauh. Apa yang dia sebut sebagai ilmu pengetahuan itu memang bisa diterima oleh akal kita dengan mudah. Lalu, mengapa kita perlu bersikap bohong di hadapannya dengan berpura-pura mencampakkan dirinya jauh-jauh?? 

Aku, bagaimanapun juga, merasa sedikit bersalah sekarang. Aku tidak ingin melakukan hal itu sebenarnya."
Parman, meskipun selalu dianggap sebagai yang paling bijak dari semua tetua, dia tetap tidak bisa membuang esensi perasaan yang ada di dalam jiwanya. Sudah banyak yang memberikan saran kepadanya agar tidak terlalu menjadi seorang yang perasa. Akan tetapi, mengubah bawaan tentu adalah hal yang tidak mudah. Dia tidak bisa menolak apa yang dirinya berusaha katakan setiap saat.

"Sungguh mulia dirimu, Parman. Meski telah mendukung keputusan untuk mengusir tetua muda itu di konsil, nyatanya kamu masih memiliki banyak rasa peduli kepada dia. Bagaimana pendapatku?? Tentu saja aku sangat mendukung upaya untuk mengenyahkan bocah itu dari posisinya sebagai salah satu dari lima tetua. Kita tidak memerlukan manusia sombong seperti itu, Parman. Memang benar dia memiliki solusi yang bisa diterima oleh akal. Akan tetapi, dia hanya seorang bocah yang tetap tidak bisa menjaga tingkah lakunya di hadapan kita semua. Ini adalah sesuatu yang memalukan. Kita lebih tua dari dirinya. Jangan hanya karena dia adalah bagian dari golongan kaya, sehingga dia bisa meremehkan golongan miskin seperti kita ini. 

Tidak akan Parman!! Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tidak akan!!"
Parman hanya tertunduk. Dia tidak bisa mengatakan kata apapun lagi. Semuanya sudah selesai. Tidak ada lagi yang bisa lakukan untuk menyelamatkan bocah itu. Tapi, "King pasti akan menentang keras tindakan itu, Tuan Lav. Dia tidak akan membiarkan kita menghancurkan gelar 

'Tetua' bocah itu. Bocah itu adalah yang pertama dari golongan kaya yang pernah memegang gelar itu. Dia pasti akan menghasut para kaya untuk memberontak kepada kita. Ini sudah menjadi tabiat dari dia, bahkan keluarganya, untuk merebut kendali kekuasaan atas desa ini." Sanggahan itu bukanlah sesuatu yang murni. Sedari awal, Parman telah tertarik dengan bocah itu. Penghalang antara keinginan Parman untuk beraliansi dengan bocah itu adalah protokoler yang begitu ketat.

"Jangan khawatir, Parman. Jangan lupa, kita memiliki banyak mata-mata di dalam golongan kaya itu sendiri. Jika manusia itu ingin memanipulasi kita, justru dia lah yang akan dimanipulasi. Dia hanya mengandalkan kekayaan terbanyak dan pengaruh dari omong kosong belaka. Tidak ada satupun pihak yang benar-benar setia kepadanya. Jika kita berhasil menabur teror di antara orang-orang yang mengaku setia kepadanya, pasti semangat mereka akan patah dengan mudah. Jangan khawatir. Kita masih sangat kuat."

Tetap saja, Parman tidak pernah mendapatkan satupun jawaban yang membahagiakan baginya. Dia merasa begitu tertekan. Tidak ada lagi yang bisa lakukan untuk menyelamatkan calon rekan yang telah kehilangan mandat itu.
"Tuan, sebenarnya kita mau pergi ke mana?? Dimana para peramal itu bermukim sebenarnya?? Kita hanya pergi ke arah hutan di sebelah utara. Di depan hanyalah hamparan perbukitan yang berbatasan dengan sebuah garis pantai Tuan. Apa mesti kita menembus perbukitan yang begitu tebal seperti ini dulu??"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline