Lihat ke Halaman Asli

Hari yang Haru

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhirnya hanya gambar di bawah ini yang terlihat oleh kedua bola mataku yang basah yang tertunduk di balik dua lensa kaca mata yang mulai ikut mengembun. Bagaimana tidak haru? Pagi hingga siang ini, 9 April 2014, aku menerima pesan BBM, SMS dan FB secara bertubi-tubi. Pesan yang menggambarkan bagaimana perjuangan untuk politik yang berbudi pekerti itu harus dimulai.
Belum genap pkl. 8 pagi, ipadku berdenting empuk, tanda sebuah pesan masuk inbox FBku. Dari seorang yang tak pernah kujumpai seumur hidupku. Kami berkenalan di Facebook walau kami mengenal beberapa orang yang sama. "Kami sekeluarga mendukung Bapak dalam pemilihan ini". Sebuah ekspresi kepercayaan yang membuka hari. Rasa tersanjung di kelopak hatiku perlahan mulai mekar.
Pukul 08.25. Sepotong BBM dari seorang kawan yang hanya pernah kukenal saat dia masih sangat kanak-kanak dan kujumpai saat berLebaran tahun lalu. Tidak tepat juga untuk menyatakan bahwa dia sepantaran saya. Kawan satu ini sangat kritis terhadap kinerja dan perilaku para anggota Dewan. "DP dan statusku, lihatlah", begitu isi pesan singkatnya. Kutekan fasilitas "View Contact Profile" dan segera terlihat statusnya yang menyatakan dengan terang-terangan kemana haluan hak memilihnya di arahkan. Ya, kepadaku. Aku, yang sedang berkemas untuk menghadiri sebuah lokakarya di negeri jiran, jatuh dalam birunya haru karena tidak pernah berpikir kalau dibalik sikapnya yang sangat kritis terhadap Pemilu, dia akan memutuskan seterang, segamblang dan seterang itu tentang dukungannya kepadaku.
Sebuah pesan muncul pada pkl. 09.32 dengan isi yang sangat menyentuh. Pengirimnya adalah seorang kawan yang baru kukenal lewat Facebook 2 bulan lalu. Kepadanya kutitipkan beberapa bundel brosur kecil berisi profil diriku yang dengan sukacita dibagikannya kepada orang-orang yang ditemuinya. Kami belum pernah bertemu muka. Hanya BBM dan pesan lewat FB yang menjadi ajang komunikasi kami. "Sampun kulo coblos, Mas. Ibunda saya ajak serta ke TPS. Beliau membawa catatan tentang data Mas Arwan (mungkin supaya tidak lupa)".
Ketika kuluncurkan tanya kepada Kawan ini kenapa berkenan melakukan semua ini. Jawaban Kawan ini tetap mengandung tanya juga "Entah dari mana datangnya ... hanya karena perasaan persaudaraan dalam lubuk hati saya yang akhirnya menuntun jari-jari tangan saya untuk memilih nama Bapak". Saya yakin, kalaupun saya adalah robot atau antena parabola atau pohon atau kuda lumping, saya akan tetap tersentuh.
Sejam kemudian, sebaris pesan di FB menyeruak. Pengirimnya juga belum pernah bertatap muka denganku. Aku mengenal mBak ini lewat FB. Isi pesan sangat to the point. Beliau baru pulang dari TPS dan berhasrat mengabarkan apa yang dia dan keluarganya lakukan di dalam bilik suara "Keluarga dan kerabat kami mendukung Mas Arwan ... Semoga amanah ... Amiin". Dipercaya, mungkin itu sebuah kata yang bisa menggambarkan cuaca hatiku.
Menjelang tengah hari, sebuah foto telunjuk jari tangan kiri terkirim di kolam chat Facebook-ku. Dikirim oleh seorang kawan muda yang baru kukenal di FB. Ujung jari itu bertinta biru. Foto itu tak sendiri. Seuntai kalimat mengiringi di bawahnya. "1 suara buatAnda dari Magelang" demikian bunyinya. Lagi-lagi rasa tersanjung itu mencuat.
Semakin siang, semakin banyak pesan yang masuk. "Mas Arwan, aku sudah nyoblos lho?" kata seorang kawan yang kukenal lewat FB, bukan simpatisan partai yang kukendarai dan baru 3 kali bertemu muka. Lewat tengah hari, pesan dari Jakarta masuk dari kawan lama, adik kelas SMA yang sudah 25 tahun tak jumpa sampaikan kabar bahwa karena dia tak punya hak pilih maka Istrinyalah yang mencoblos namaku.
Lepas jam 3 siang, ada pesan terkirim ke kolom inbox FB. "Selamat siang. Kami sekeluarga mendukung Anda". Aku belum pernah bersua dengan kawan ini. Adalah lagi-lagi Facebook yang memperkenalkan kami.  Adalah rasa ingin tahu  dalam makna positif yang kemudian muncul untuk mengetahui bagaimana kepercayaan itu dianugerahkan sementara bersua pun kami tak pernah.
Tidak ada maksud untuk membanggakan diri dengan menyebut kejadian-kejadian ini. Juga tidak ada niat untuk memegahkan diri karena mendapat kepercayaan tulus ini. Juga jumlah dukungan yang terekspresikan ini pasti tidak seberapa dibanding berpuluh-puluh ribu yang mampu diraih dengan gemilang oleh para Caleg lainnya yang lebih mampu, lebih dipercaya dan lebih berkualitas dibanding saya.
Namun saya sangat bahagia dengan kesaksian demi kesaksian yang saya terima itu. Saya percaya bahwa itulah bukti bahwa benih pendidikan politik cerdas dan substantif yang kita semai bersama mulai bertunas. Belum sebanyak yang kita inginkan pastinya, tapi tetap harus ada yang memulai bukan? Kepercayaan yang tergalang walau perjumpaan belum pernah menjelang membuat keharuan di dalam rongga dada semakin membiru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline