Lihat ke Halaman Asli

Analisis Kritik Sastra dengan Pendekatan Pragmatik pada Atheis Karya Achdiat K. Mihardja

Diperbarui: 1 Maret 2022   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Atheis_(novel)

Ketika berbicara soal sastra, seringkali kita dengan sepele mengaitkan istilah tersebut hanya dengan produk-produk sastra yang sering kita temui, seperti puisi maupun prosa. Sementara itu, kita mengonsumsi karya-karya tersebut tanpa pernah merefleksikannya secara holistik dan komprehensif. Sebelumnya, kita perlu memahami etimologi dan pengertian kata sastra. Jika mengacu pada penuturan Teeuw (1988, hal. 23), sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Dalam perkembangan penggunaannya, kata sastra acap kali dikombinasikan dengan prefiks “su” menjadi susastra, yang diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah. 

Sastra yang merupakan hasil kreasi imajinasi dan kreativitas manusia, berlaku sebagai salah satu pilar yang esensial dalam menyokong pembentukan dan pertumbuhan kebudayaan. Melalui sastra dan komunitas yang secara aktif bersastra, bahasa yang dimiliki sebuah bangsa dihidupkan dan diperbaharui terus menerus. Bahasa di sini berfungsi untuk menyampaikan gagasan yang sebelumnya dilahirkan oleh imajinasi dan kreativitas manusia. Hal ini tentunya akan mengembangkan kebudayaan sebuah bangsa menuju tingkatan yang lebih tinggi. Di sisi lain, peradaban umumnya didefinisikan sebagai kebudayaan-kebudayaan yang tertinggi. Sehingga bisa disimpulkan bahwa perkembangan sastra sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. 

Karya sastra juga mempunyai pengaruh dalam mempertahankan atau mengubah-ubah citra penikmatnya terhadap dunia, sebab karya sastra kerap melukiskan pandangan dan pengalaman pencipta terhadap realitas yang dekat dengan dirinya. Menurut Danamo (Sitinjak, 2018), karya sastra ada untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dan mampu memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat.  Menanggapi hal tersebut, karya sastra bisa menjadi media untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu bagi pembacanya. Adapun, fungsi ini dikenal sebagai pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan karya sastra yang memiliki peran utamanya kepada pembaca dalam menerima, menghayati, dan memahami karya sastra (Tri Gumono, 2017). Pendekatan semacam ini penting untuk dilakukan, terlebih di era teknologi yang rentan terjadi demoralisasi dalam masyarakat dan krisis identitas diri, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra dapat melalui proses internalisasi oleh pembaca dalam rangka hidup berakhlak dan bermoral.

Pada kesempatan kali ini, penulis akan melakukan proses kritik terhadap sebuah karya sastra berupa novel karangan Achdiat K. Mihardja, Atheis. Atheis menceritakan seorang perjalanan keimanan seorang pemuda bernama Hasan yang hidup di zaman pendudukan Jepang di Indonesia. Pada awalnya, Hasan dilahirkan ke dalam lingkungan yang kental akan ajaran dan nuansa agama. Namun, tertulis pula dalam cerita bahwa tokoh Hasan secara perlahan mulai kehilangan kepercayaannya pada Tuhan. Hal ini bukan tanpa sebab, melainkan terjadi seiring perkembangan relasinya yang semakin intens dengan tokoh-tokoh yang “kafir” atau dengan kata lain, memiliki paham komunis.

Melihat bagaimana perjalanan spiritual Hasan ditimbulkan oleh dan/atau memantik sederet peristiwa penuh pembelajaran menjadi alasan penulis mengangkat Atheis untuk dikritik melalui pendekatan pragmatik. Terkait dengan ini, kritik pragmatik Atheis dilangsungkan dengan cara mengkaji konten dalam dokumen terkait, hasil cetakan ketiga puluh tiga (2009) sebanyak 250 halaman. Proses analisis ini bertujuan untuk mengolah data-data berupa bukti-bukti kata/kalimat/paragraf yang kemudian akan menghasilkan kesimpulan berupa nilai-nilai kebermanfaatan yang terkandung di dalam cerita Atheis, baik secara eksplisit maupun implisit. Nilai kebermanfaatan merupakan suatu pendekatan terhadap kehidupan manusia yang mampu memberikan informasi terkait dengan pemerolehan nilai-nilai kehidupan (Mawardy & Nurcholish, 2021, hal. 366). Berikutnya, guna memvalidasi kajian, maka akan diperkuat dengan triangulasi sumber, menggunakan sumber-sumber lain yang terpercaya, seperti halnya jurnal, artikel, buku, dan sejenisnya.

Adapun, nilai-nilai yang terkandung dalam Atheis antara lain adalah religiusitas, toleransi, kerja keras, peduli sosial, rasa ingin tahu, komunikatif, tanggung jawab, mandiri, cinta damai, disiplin, serta gemar berliterasi (Saktiono et al, 2018, hal. 154). Nilai-nilai di atas dapat kita kategorikan sebagai nilai kebermanfaatan yang ditawarkan oleh penulis bagi para pembaca karena bisa menjadi nilai-nilai yang diterapkan dalam kehidupan sehari-sehari. Secara garis besar, nilai-nilai tersebut masih bisa terbagi kembali menjadi nilai agama, nilai moral, dan nilai pendidikan. 

Pertama-tama, penulis akan membahas dari sisi nilai-nilai agama yang menjadi pondasi yang mengonstruksi alur cerita Atheis. Nilai agama merupakan sebuah kandungan yang berasal dari ajaran untuk mendapatkan kebaikan dunia akhirat (Rifa’I, 2016, hal. 11). Berikut merupakan bukti kalimat yang ada dalam Atheis yang bisa dipetik sebagai nilai agama.

  1. “Tiba-tiba terkilatlah pula pertanyaan dalam hatiku, “Tidak mungkinkah ini suatu kemurahan hati Tuhan jua?” Rakhmat-Nya berkat kerajinan beribadat? Suatu bukti yang harus meyakinkan aku akan keluhuran ilmu tarekat yang kuanut itu?”

  2. Ayah dan ibu pun sangat bangga. Diceritakan tentang diriku kepada tiap kenalan. “Sekarang ia sudah bisa sembahyang,” kata Ayah. Aku masih ingat ketika aku mulai belajar sembahyang. Aku berdiri di belakang Ayah, di samping ibu. Dan kalau Ayah dan Ibu berdzikir, maka aku pun turut berdzikir pula.”

Kedua bukti kalimat di atas merupakan dialog internal Hasan saat ia masih memegang kepercayaan akan Tuhan. Hal ini dibuktikan dalam bukti kalimat pertama yang mana menunjukkan Hasan menyadari bahwa karunia yang selama ini diterimanya merupakan kemurahan hati Tuhan dan rahmat-Nya, yang berasal dari kerajinan Hasan dalam beribadah. Untuk bukti kalimat kedua ingin menunjukkan bahwa Hasan merupakan seseorang yang mengikuti perintah Allah sedari dini. Melalui dua bukti kalimat ini, barangkali penulis ingin menyampaikan bahwa ciri-ciri orang yang beriman adalah mereka yang mencintai Tuhan, serta mengamalkan ajaran-Nya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline