Lihat ke Halaman Asli

Konsekuensi Hukum Menjadi Seorang Pelakor

Diperbarui: 6 Februari 2023   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lelaki adalah mahluk visual dengan syahwat yang tinggi. Untuk menyalurkan syahwatnya itu para pria pada zaman dahulu biasanya pergi ke tempat lokalisasi atau pelacuran. tapi pada zaman sekarang karena kemajuan teknologi yang memberikan kemudahan untuk mengakses dan mendapat informasi apapun  penyaluran syahwat para lelaki beralih pada Open BO yang tersebar di berbagai platform media sosial.

Open BO tidak hanya menjadi sasaran lelaki yang masih lajang, tapi juga kepada lelaki yang sudah menjadi suami alias punya istri (perselingkuhan). Bagi penyedia jasa Open BO, lelaki yang sudah berkeluarga lebih menarik perhatian dari pada lelaki lajang.

Selain melalui jasa Open BO yang sifatnya one night stand (cinta satu malam). Perselingkuhan juga kerap terjadi di lingkungan kerja, yang karena sering bertemu setiap hari akhirnya menimbulkan tumbuhnya benih-benih asmara yang akhirnya merusak rumah tangga si lelaki dan menggores hati istri yang sah secara agama dan hukum.

Tapi entah dari mana pun sumber perselingkuhan, kegiatan merebut lelaki orang yang dilakukan pelakor harus di hentikan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Untuk itu perlu adanya konsekuensi oleh kedua belah yaitu si pelakor dan si lelaki. Karena tidak mungkin ada pelakor kalau si lelaki mampu membendung syahwatnya dan rayuan perempuan.

Sebenarnya tidak ada aturan khusus yang mengatur hukuman apa untuk para pelakor. Yang ada adalah sanksi untuk menjerat pelakor yang telah melakukan hubungan badan (kumpul kebo) dengan suami orang lain. seperti yang telah diatur secara khusus dalam pasal 284 ayat (1) KUHP yang bunyinya;  siapa saja baik itu suami istri yang bersetubuh dengan yang bukan pasangan sahnya , di pidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II yaitu Rp. 10 juta.

Persetubuhan tersebut harus dilakukan atas dasar suka sama suka, dan tidak boleh karena paksaan dari salah satu pihak. Dari pasal diatas dinyatakan si pelakor yang melakukan hubungan badan dengan suami orang lain dapat dijerat dengan pasal 284 KUHP. Akan tetapi, penuntutan akan dapat di proses jika istri yang sah melakukan pengaduan yang suaminya direbut olek pelakor karena pasal 284 KUHP merupakan delik aduan.

Dalam hal pengaduan pun tidak boleh hanya satu pihak saja yang dikenai pidana. Apabila istri mengadukan bahwa suaminya telah berzina dengan perempuan lain, maka si suami yang melakukan zina dan perempuan lain (pelakor) yang juga melakukan perzinaan, kedua pihak harus dituntut.

Namun kita juga bertanya-tanya, bagaimana jika perselingkuhan antara suami dan istri tidak sampai pada hubungan badan. Cuman cipika cipiki dan meremas gunung kembar. Bisakah di pidanakan?

Jawabannya, kalau menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209), beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istriatau suaminya.

Maka dari itu, untuk bisa dituntut dengan delik pidana sebagaimana yang terkandung dalam aturan pasal ini. Si pelakor harus sudah bersetubuh atau berhubungan badan (telah memasukkan penis ke dalam vagina). Jika hanya cipika cipiki atau meremas gunung kembar tidak dapat dikenai pasal 284 KUHP.

Dengan itu maka dapat kita Tarik kesimpulan bahwa belum terdapat pidana jika belum sampai pada hubungan badan atau masuknya penis ke dalam vagina. tapi juga terdapat alternatif solusi jika si istri tidak dapat mempidanakan si pelakor dan sang suami. Si istri sudah tidak kuat dengan tingkah suami yang suka main perempuan yaitu dengan cara mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Namun juga terdapat solusi lain yaitu berupa mengedepankan upaya kekeluargaan dengan suami dan pelakor mengingat hukum pidana merupakan upaya terakhir atau ultimum remidium. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline