Pelecehan seksual merupakan masalah serius yang melibatkan perilaku seksual sepihak yang tidak diharapkan oleh korbannya, yang mengakibatkan perasaan negatif seperti marah, benci, malu, tersinggung dan sebagainya. Pelecehan seksual juga dapat diartikan sebagai perilaku yang merendahkan atau menghina seseorang berdasarkan jenis kelaminnya (Taufik dan Elfiandri, 2021). Pelecehan seksual tidak hanya mencakup aktivitas seksual, tetapi juga pernyataan tentang seksualitas seseorang yang dilakukan di bawah paksaan, intimidasi, penahanan, ancaman, tekanan psikologis, atau penyalahgunaan kekuasaan (Merry dan Asep, 2022).
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dengan sengaja baik berupa kekerasan fisik maupun non fisik, kekerasan verbal atau non verbal yang ditujukan kepada seksualitas korban dan berdampak negatif bagi korban, serta ada unsur penting yang dapat menunjukkan bahwa hal tersebut sudah termasuk salah satu bentuk pelecehan seksual yaitu adanya rasa tidak rela atau penolakan dari korban (Nabila dan Mutiara, 2023). Sementara itu, dari sudut pandang agama pelecehan seksual dapat terjadi karena pelaku kekerasan sosial tidak memiliki kualitas religius yang baik (Rendika, 2022).
Menurut penelitian Kemendikbud Ristek tahun 2020, 77% dosen menyatakan bahwa pelecehan seksual pernah terjadi di 79 perguruan tinggi di 29 kota (Apriani, A. R, 2022) (Marfu'ah, U., & Rofi'ah, S. 2021). Apabila tindakan amoral dilakukan oleh pihak di dalam lembaga atau civitas akademika etika dan moral universitas dan anggotanya harus segera diperbaiki dan dievaluasi. Ada berbagai bentuk pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia, terutama di lingkungan perguruan tinggi, mulai dari catcalling hingga pemerkosaan. Salah satu bentuk yang sering terjadi adalah catcalling, di mana sistem hukum Indonesia secara umum cenderung menolak untuk mengakui bahwa pelecehan seksual di jalanan adalah masalah yang nyata.
Oleh karena itu, upaya pendirian Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) sesuai dengan ketentuan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021, merupakan langkah penting untuk memperkuat peran Satuan Tugas PPKS sebagai entitas yang membantu dan menangani insiden pelecehan dan kekerasan seksual di kalangan civitas akademika, termasuk kekerasan fisik.
Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) adalah unit yang dibentuk oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) berdasarkan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021. Unit ini bertujuan untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan serta pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi, termasuk pelecehan verbal dan nonverbal. Pentingnya penerapan serta pembentukan Satgas PPKS dikarenakan dampak yang akan dialami korban pelecehan seksual sangatlah berbahaya baik untuk kesehatan jasmani maupun kondisi mental korban. Kemendikbud Ristek telah berhasil membentuk Satgas PPKS secara menyeluruh di universitas-universitas yang ada di Indonesia guna membantu pencegahan dan penanganan tindak pelecehan seksual di lingkungan akademis.
Dalam menindaklanjuti tindak pelecehan seksual diperlukan strategi komunikasi yang sesuai sehingga tujuan pengurangan dan penanganan tindakan tersebut dapat berkurang bahkan hilang. Seperti yang diketahui, pelecehan dan kekerasan seksual didefinisikan sebagai perilaku yang memiliki unsur seksual dan dilakukan tanpa persetujuan oleh pihak yang menjadi sasaran. Baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi korban pelecehan, terutama di tempat umum, meskipun seringkali perilaku tersebut dianggap sebagai bercanda. Dampaknya sangat signifikan dan merugikan bagi korban serta lingkungannya (Kinasih & Antropologi, 2021).
Pelecehan seksual, baik secara verbal maupun nonverbal, masih kerap terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Korban tindakan amoral ini tidak hanya terbatas pada mahasiswa, melainkan juga mencakup tenaga pengajar, dosen, dan bahkan pejabat atau anggota universitas (Nurbayani, S., & Wahyuni, S., 2023), menyebabkan dampak psikologis pada korban.
Berdasarkan hal tersebut penulis akan mengkaji bagaimana penerapan aplikasi satgas ppks dengan metode virtual dalam mengatasi dan mengawasi kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus Hal ini guna mencapai tujuan untuk mengetahui, memahami, dan mengkaji penyebab terjadinya korban pelecehan seksual. Serta untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis perlindungan hukum yang bagi korban pelecehan seksual dengan cara virtual atau dengan penggunaan aplikasi yang memudahkan pasien dalam menceritakan hal yang alaminya.
Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku,kejadian tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban.
Menurut Collier (1998), pengertian pelecehan seksual disini merupakan segala bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh yang mendapat perlakuan tersebut, dan pelecehan seksual yang dapat terjadi atau dialami oleh semua perempuan. Sedangkan menurut Rubenstein (dalam Collier,1998) pelecehan seksual sebagai sifat perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung penerima.
Dari beberapa definisi pelecehan seksual diatas dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual adalah perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dalam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya.