Oleh: Syahrudin A. Douw, SH
Cagar Alam Morowali adalah kawasan yang kaya akan flora dan faunanya. Jenis hutannya pun beragam, terdapat jenis hutan pantai, mangrove, lumut, dan alluvial dataran rendah hingga jenis hutan pegunungan. Karenanya, Cagar Alam Morowali disebut-sebut sebagai cagar alam yang terluas di Sulawesi. Hal itu juga sesuai dengan peta penetapannya di kabupaten Morowali dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah, Nomor: 237/Kpts –II/1999 Tanggal 27 April 1999, serta surat Keputusan Menteri kehutanan tanggal 24 November 1986 disebutkan bahwa luasan Cagar Alam Morowali berjumlah 225.000 Ha, dengan rincian keliling total sepanjang 265,84 Km yang terdiri dari batas alam sepanjang 36,36 Km dan batas buatan 229,84 Km dan jumlah pall batas mencapai 3.198 buah yang terdapat dikawasan teluk Tomori, dataran rendah dan pegunungan.
Kondisi tanah yang subur dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya membuat banyak pihak tergiur dan rawan eksploitasi. Sekitar lima tahun ke belakang, tercatat banyak perusahaan yang menyelinap dan mengakitbatkan kerusakan hutan. Contohnya, pada tahun 2011 PT. Gema Ripah Pratama membangun sebuah dermaga Jeti di desa Tambayoli. Akibatnya kerusakan pun terjadi. Sampai saat initerdapat lubang-lubang tersebar di sekeliling tempat galian. Puluhan lubang tersebut rata-rata memiliki kedalaman dua meter. Yang lebih memprihatinkan ditemukan di sekitar gunung Palla-Palla, banyak lubang yang dibiarkan terus menganga dan kayu hasil tebangan berserakan sepanjang jalan dan hutan.
Selain itu, tambak ikan milik warga Tambayoli yang terletak tepat di kaki gunung Palla-palla kini rusak dan tercemar sejak PT. Gema Ripah Pratama beroperasi. Tambak-tambak ikan menjadi keruh dan berwarnah merah akibat lumpur yang turun dari wilayah eksploitasi tambang yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari lokasi tambak. Pihak perusahaan tidak mau bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkannya.
Kondisi Masyarakat Di Sekitar Cagar Alam Morowali
Cagar Alam Morowali berbatasan dengan beberapa kecamatan. Salah satunya adalah kecamatan Soyo Jaya kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Soyo Jaya terdiri dari sembilan desa di antaranya: Tamainusi, Tandoyondo, Lembah Sumara, Tambayoli, Sumara Jaya, Malino, Malino Jaya, Panca Makmur, dan Uwe Bangke. Tetapi lima dari ke sembilan desa tersebut—Tambayoli, Lembah Sumara, Sumara Jaya, Tandoyondo dan Tamainusi—yang lebih dekat dengan pall batas cagar alam yang dipasang di sebelah timur.
Kecamatan Soyo Jaya, bisa ditempuh melalui kota Kolonodale dengan menggunakan kapal laut, jarak tempuh selama tiga jam, kapal hanya sekali dalam sehari secara bergantian keluar masuk ke Kecamatan Soyo Jaya. Pelabuhan di Soyo Jaya tepat berada di Desa Tambayoli. Lokasi pelabuhan dan lintasan kapal yang keluar menuju Kota Kolonodale melewati hutan bakau yang sudah masuk dalam kawasan Cagar Alam Morowali. Selain akses laut, juga terdapat akses darat, hanya sayangnya jalan yang dilalui rusak parah dan hampir tidak ada lagi yang melintasi jalan tersebut. Selain dari Kolonodale, jalan menuju Soyo Jaya juga bisa ditempuh melalui desa Tayawa Kecamatan Tojo, Kabupaten Tojo Una-una, dengan jarak tempuh selama empat jam dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Secara umum, masyarakat di Kecamatan Soyo Jaya sebagian besar mengandalkan pertanian sawah dan kakao sebagai tanaman andalan untuk kebutuhan ekonomi sehari-hari. Untuk persawahan, masyarakat melakukan panen pertanian sawah sebanyak tiga kali dalam setahun. Hasil pertanian masyarakat Soyo Jaya setiap minggunya di kumpulkan oleh pembeli di kecamatan tersebut untuk di pasarkan ke beberapa kabupaten seperti Tojo Una-una, Poso, dan Banggai melalui akses darat ke Desa Tayawa, biasanya sampai mencapai lima ton setiap sekali angkut. Hal ini membuktikan bahwa kecamatan tersebut memiliki lahan sawah yang cukup luas. Uniknya, di Kecamatan Soyo Jaya jika menanam padi, tidak dilakukan secara serempak oleh semua petani, sehingga memungkinkan para petani mengalami gagal panen karena hama yang menyerang tidak merata. Problem hama tersebut membuat sebagian petani tidak secara serius mengurus pertanian sawah mereka, banyak yang mulai memilih keluar dari wialayah Soyo Jaya dan ada pula yang beternak sapi di padang.
Jumlah penduduk setiap tahunnya bertambah, dan juga kebutuhan akan lahan pertanian semakin bertambah pula. Karena kebutuhan akan lahan semakin besar, maka penduduk yang tidak memiliki tanah terpaksa keluar dari wilayah tersebut. Para petani juga mulai merasakan sempitnya lahan pertanian, wilayah mereka tidak bisa di perluas lagi karena factor hutan yang begitu disakralkan oleh pemerintah, sehingga semacam ada ancaman jika meluaskan pertanian ke arah hutan akan berhadapan dengan aparat Negara dan tidak segan-segan untuk di penjarakan. Hal tersebut pernah terjadi kepada seorang petani di Tamainusi, karena mengambil kayu hasil hutan di luar Cagar Alam Morowali tepatnya di desa Malino, warga tersebut harus berurusan hukum dengan Polsek Petasia.
Hal itu mengakibatkan dalam benak masyarakat secara umum bahwa mengambil hasil hutan seperti kayu untuk keperluan rumah, pasti akan bermasalah dengan penegak hukum setempat. Padahal jauh sebelum ada penetapan kawasan atau pun penunjukan kawasan Cagar Alam Morowali, perkampungan mereka sudah ada, bahkan hutan yang kini masuk dalam Cagar Alam Morowali adalah tempat kehidupan masyarakat asli setempat sejak turun temurun. Tambayoli, Tandayondo dan Tamainusi, adalah perkampungan tua yang jauh sebelum kemerdekaan telah di huni oleh tau Taa Wana (Suku Wana). Kini telah menjadi desa yang berhadap-hadapan secara langsung dengan kawasan Cagar Alam Morowali.
Desa yang Tereksploitasi
Tambayoli, dalam bahasa tau Taa Wana biasa disebut Tameyoli yang artinya tempat titian jumlah penduduk Desa Tambayoli 128 Kepala keluarga, sekarang hampir tidak ditemukan lagi Tau Taa Wana yang tinggal di desa tersebut, mayoritas penghuni desa Tambayoli adalah migrasi dari Sulawesi Selatan. Orang-orang Taa Wana kini tinggal di dalam hutan meninggalkan perkampungaan lama mereka. Mereka turun ke perkampungan hanya kerana memiliki keperluan ekonomi menjual damar, dan membeli keperluan sehari-hari. Biasanya Tau Taa Wana datang menjual damar kepada pengumpul di desa Tambayoli, dalam seminggu bisa mencapai tiga ton yang terkumpul.
Di sebelah Timur dan Selatan desa Tambayoli terdapat pall batas Cagar Alam Morowali, jaraknya hanya lima puluh meter dari perkampungan yang biasanya di sebut masyarakat wilayah Palla-Palla, di sebelah selatan hanya mencapai tiga puluh meter dari pemukiman masyarakat Desa Tambayoli, sejak lama mereka tidak berani mengusik wilayah tersebut untuk keperluan pertanian maupun tambak ikan, sehingga masyarakat terpaksa hanya bertani sawah dan sebagian lainnya jika ingin bersawah maka harus menjadi buruh tani atau pinjam sawah dengan mekanisme bagi hasil. Itulah tragedi petani di Tambayoli, mereka butuh tanah tapi karena kehendak pemerintah menetapkan Cagar Alam di wilayah desa mereka, maka dengan patuh mereka tidak berani mengusik Cagar Alam tersebut.