Lihat ke Halaman Asli

Kertagama; Selisih Rindu (Part 1)

Diperbarui: 28 Oktober 2016   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Gurindam Ratu atau biasa dipanggil Guru. Nama perempuan yang aneh. Satu-satunya yang terlihat normal hanyalah penampilan fisiknya sebagai gadis belia. Kuamati tubuh Guru dari ujung rambut hingga ujung kaki. Perempuan ini cukup cantik dengan kulit berwarna sawo matang. Aroma kunyit bercampur dengan madu samar-samar tercium tatkala jarak antara aku dengan perempuan itu tak lebih dari sejengkal telapak tangan. Wewangian tubuhnya benar-benar khas gadis Jawa yang jarang kujumpai di kampungku.

Hingga aku tersadar jika ini bukanlah pemikiran yang benar. Seorang laki-laki dan perempuan sedang berdua saja di dalam sebuah penginapan. Liburan musim kemarau membawaku dan Guru berlibur ke sebuah Negara Kerajaan bernama Thailand. Meskipun kami pergi berdua saja, aku telah berjanji padanya jika tidak akan terjadi apa-apa. Namun apa yang justru kulakukan? Hampir saja aku melanggar janjiku sebagai laki-laki tatkala melihat seorang perempuan cantik terlelap dengan selimut tersibak.

Berbicara tentang Guru, tak pantas rasanya perempuan itu disebut gadis belia. Usianya satu setengah tahun lebih tua dari seorang laki-laki perantau sepertiku. Bisa dikatakan Guru adalah kakak senior. Kami bertemu saat aku hampir menyelesaikan kuliah selama satu semester. Kala itu guru tak secantik gadis Jawa dalam angan banyak orang. Penampilannya sungguh apa adanya, bahkan cenderung seperti anak terlantar. Aku tak terlalu mempermasalahkan hal-hal  kecil yang sama sekali tak berhubungan dengan kepribadian seseorang. Guru sendiri adalah sosok perempuan yang sulit ditebak. Terkadang aku merasa menjadi orang yang paling mengetahui dirinya, namun juga sebaliknya. Diam-diam ia menyembunyikan sesuatu di balik gelak tawa serta keramahannya terhadap orang-orang.

Bayangan tentang Guru tak habis sampai di sana. Masih kuingat benar enam tahun yang lalu aku pernah mengajaknya ke sebuah tempat bersejarah di daerah Mojokerto. Perempuan itu begitu antusias dengan sejarah, sama sepertiku. Perbedaannya, Guru memandang sejarah sebagai perlakuan terhadap masa depan, sedangkan aku mengikat sejarah dengan pandangan masa lalu.

Aku pun melihat sosok Guru bukan sebagai gadis biasa. Ia memiliki segudang rencana yang telah bulat untuk dijalani. Bertahun-tahun dalam pencarian tak kutemukan pembicaraan yang hampir terasa seperti sandiwara meskipun peristiwanya begitu nyata. Perempuan itu menggenggam tanganku sembari tersenyum penuh rencana. Sinar matanya yang berbinar mungkin dapat menghujam sanubari laki-laki manapun yang memandang. Terutama aku, seorang laki-laki yang kini mencoba mengenalnya lebih dekat.

Sebuah pesan kuterima lewat layar ponsel. Dari Guru. Ia menanyakan kesediaanku untuk menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Aku terkejut karena bayangan tentang liburan musim kemarau bersama Guru tak kunjung menghilang. Sudah lama kami berdua tidak melakukan kegiatan bersama. Teringat saat terakhir kali Guru berbisik tentang rencana kepergiannya ke kota Singa. Perempuan itu memutuskan untuk hengkang dari perkuliahan karena suatu hal yang belum juga dapat kupahami.  Hingga akhirnya aku tersadar jika bukan hanya tubuhnya saja yang menjaga jarak denganku. Hatinya perlahan menjadi sekeras batu. Pertemuan kami akhir-akhir ini tak lepas dari takdir yang selalu mempertemukan sosoknya dengan rasa penasaranku.

Guru selalu berencana untuk meninggalkanku, namun gagal karena kehendak takdir yang sama sekali tak dapat kumengerti. Meskipun demikian, perempuan itu tak pernah berhenti memanfaatkan ketidakberdayaanku di hadapannya. Ia menganggap sebuah takdir adalah bagian dari suksesi rencana organisasi. Aku harus bersabar. Perempuan itu pasti tak sepenuhnya tangguh. Ada hal yang telah membuatnya tak bisa melunak, bahkan dengan ambisi yang hampir membunuh siapa saja dalam lingkaran politiknya.

"Restu, sudah baca pesanku bukan?"

Guru mengejutkanku. Seperti biasa kata-katanya tajam tanpa basa-basi. Ia telah berubah, atau memang aku yang kurang mahami sisi frontal dari dirinya. Kuanggukkan saja kepalaku. Perempuan itu membalas dengan senyuman. Lalu ia berjalan ke arah mobil sedan berwarna hitam. 

Aku mengikuti langkahnya. Samar-samar degup jantungku tak beraturan. Ada sesuatu yang membuatnya sakit karena tergores hal-hal yang sejatinya tak perlu dipikirkan. Sosok perempuan yang selalu membuatku berpikir tentang kehadirannya kini tak hanya bersemayam dalam kekalutan. Ia telah menjelma sebagai Dewi alam bawah sadarku. Entah benar atau tidak, selisih amarah beserta rindu memang tak akan jauh berjarak waktu.

Bersambung di Kertagama; Selisih Rindu (Part 2)

 

Surabaya

Jum'at, 28 Oktober 2016

13:01

 

Arupa Karsani




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline