Lihat ke Halaman Asli

Merasionalkan Perasaan

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“... dia berkata ke Kapten Corelli, 'papa telalu merasionalkan cinta sehingga cinta jadi kering.'” SAYA TIDAK BISA MENAHAN TAWA ketika Bang Daus mengatakannya. Saya pikir saya pelan-pelan sudah menjelma seperti mertua Kapten Corelli (tokoh dalam novel Captain Corelli's Mandolin) itu, terlalu berupaya merasionalkan perasaan sehingga membuat hati saya benar-benar terasa kering. Sejujurnya, walaupun setiap kali saya berpikir, berupaya mengerti diri saya sendiri, setiap saat saya merasa sudah mengenal diri saya, setiap kali itu pula saya digerakkan. Saya tidak pernah tahu segalanya, bahkan hingga saat ini. Saya mencoba mengukur tiap jengkal diri saya, mencoba memahami, mencoba merencanakan ini-itu untuk diri saya sendiri. Kadang berhasil, seringkali gagal. Dan saya merasa sungguh ini sia-sia, walaupun pada akhirnya saya tidak pernah berhenti melakukannya. “Nikmati saja, seperti saat duduk di taman pada sore yang indah dengan secangkir teh dan alunan musik lembut,” kata Bang Daus. Dan untuk kali ini saya pun tersenyum lagi. “Sejak kapan hidup menjadi begitu rumit, ya?” Saya menimpali sembari tersenyum. “Hidup itu hanya perpindahan dari satu masalah ke masalah lain. Kita tidak pernah benar-benar terhindar dari masalah, sebagus apapun rencana kita untuk menghindarinya. Contohnya, jatuh cinta, menjalin hubungan, putus, nyambung, putus lagi, hingga memutuskan untuk sendiri, bukankah upaya untuk menyelesaikan masalah hanya dengan mendatangkan masalah lain. Kalau semuanya bisa dinikmati, syukur-syukur dimaknai, hidup tidak pernah lebih rumit dari yang kita pikirkan.” Saya harap memang begitu, let it flow, jawaban akan datang saat kita membutuhkannya. Walaupun sepenuhnya mengerti, yang saya tahu, seperti inilah caraku melarikan diri dari perasaan tidak nyaman, kelelahan, dan kebuntuan. Paling tidak, itulah yang saya pelajari selama hampir seperempat abad hidup saya. Tapi memang benar, hidup hanyalah perpindahan dari satu masalah ke masalah lain. Dan tanpanya hidup sungguh tidak ada artinya. Lalu apa yang harus saya lakukan? Saya terdiam beberapa saat, kemudian tersenyum begitu saja. “Ini hanya masa jeda antara satu seruputan teh ke seruputan berikutnya. Dengarkan alunan musiknya, resapi pemandangannya, hirup segar udaranya. Nikmati saja.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline