Lihat ke Halaman Asli

Coffee Break

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ini kopi Anda, Tuan.” Seorang waiter meletakkan secangkir kopi panas di hadapan saya dengan gaya aristokrat yang angkuh sekaligus anggun. Tempat ini terhitung mewah bagi saya yang biasa melompat-lompat dari satu kafe kecil ke kafe kecil lain hanya untuk memenuhi tenggat artikel untuk kolom mingguan beberapa surat kabar yang sebenarnya tidak seberapa panjangnya. Tapi hari ini, demi sopan santun, saya mengabulkan undangan wawancara dari penerbit yang selama ini banyak membantu saya. Itulah hal ihwal saya berada di tempat ini dengan seorang jurnalis muda cantik yang sedari tadi sigap dengan pulpen dan catatannya. “Silahkan dilanjutkan,” kataku. Ia memutar pulpennya perlahan dan menatap saya tajam—yang saya tangkap sebagai cara klasik untuk mendramatisir suasana. Lalu, keluarlah kata demi kata dari sepasang tingkap di bawah hidungnya,  “Bagaimana Anda menyikapi perceraian Anda?” Sebuah pertanyaan yang sangat terduga sekaligus sangat sempurna. Penuh jebakan, penuh intrik, penuh pancingan. Sebuah pertanyaan yang dapat berkembang menjadi bermingu-minggu perbincangan sok tahu dari para “ahli”, opini-opini absurd, serta fakta-fakta imajinatif di tabloid-tabloid gosip. Yang terburuk sudah berlalu, tapi tidak ada alasan saya harus menampilkan diri saya kembali sebagai penghias fenomenal halaman depan. Saya sungguh tidak senarsis itu. Saya mengangkat cangkir dan menghirup aroma dari uap putih yang mengebul dari permukaan hitam pekat di bawahnya. Aroma yang sangat akrab sekaligus asing bagi saya. “Saya dulu pernah mendirikan sebuah coffee shop.” Saya letakkan cangkir perlahan, bersandar, dan menyilangkan kaki. Gaya yang  sangat Al Pacino. “Saya menghabiskan bertahun-tahun untuk meramu semua menu kopi saya. Saya menimbang satu demi satu campuran, mencoba menemukan kombinasi-kombinasi yang paling ideal. Sampai akhirnya saya sadar saya telah menghasilkan berbagai jenis kopi. Anda tahu? Saya tidak pernah tahu nama kopi yang saya buat. Karyawan sayalah yang memberikannya nama, cappuccino, latte, frappe, espresso, classic, gaya Amerika, gaya Eropa, gaya Brasil, gaya Indonesia.” “Apa yang Anda pikirkan sewaktu membuat kopi-kopi itu?” “Setiap jenis kopi merangkum satu fase kehidupan saya. Misalnya, saya membuat vanilla latte saat saya jatuh cinta dengan seorang gadis sewaktu saya SMA. Saat saya menikmati vanilla latte tersebut, keluarlah perasaan bergairah, memberontak, dan cinta yang penuh dengan insekuritas sekaligus spontan khas anak muda. Akhirnya, saya selalu membuat kopi yang menjadi penanda bagi setiap fase dalam kehidupan saya. Walaupun ada beberapa kopi yang bahan dasarnya sama seperti Java classic yang ada di depan saya ini, tapi komposisi ramuannya selalu berbeda, yang berarti tidak pernah ada fase yang persis sama. Saya jadi terbiasa menandai satu momen dalam kehidupan saya dalam satu ramuan kopi. Ia jadi semacam monumen yang di dalamnya terdapat aroma, rasa, dan nostalgia sekaligus." Ia meletakkan kaca matanya ke atas meja dan menatap saya, ada sebentuk kabut yang melintasi bola matanya. "Lalu apa kaitannya antara kopi dengan alasan yang membuat Anda tiba-tiba memutuskan untuk melakukan perceraian setelah 30 tahun menikah?" "Karena selama 30 tahun itu, saya berhenti membuat kopi." Saya meresapi dengan khidmat sekelumit rasa asam dari bijih kopi robusta yang menjadi cikal bakal minuman hitam pekat yang baru saja melintasi penjuru lidah saya, membiarkan suasana hening sejenak. "Kenapa?" Tanyanya memecah keheningan. "Tidak pernah selesai," saya menjawab pelan. "Saat kami menikah kami berdua berjanji untuk membuat kopi bersama. Sayangnya, saat menurut saya kopinya enak, baginya tidak enak. Saat menurutnya kopinya enak, bagi saya tidak enak. Saat kami setuju bahwa kopinya enak tak berapa lama akan ada yang berteriak kebosanan. Sampai pada akhirnya, kami berhenti membuat kopi dan membiarkan kopi yang paling tidak enak dalam hidup kami terus menerus menggerogoti kerongkongan kami. Semua kompromi, janji, pertengkaran, ratapan, dan kekecewaan menjadi ampas yang tidak pernah mengendap. Maka itulah yang harus terjadi...." "TAPI AYAH SEHARUSNYA KALIAN BISA...." Ia menangis sesenggukan, meluapkan emosi yang sedari tadi tertahan profesionalitas. Ia mencintaiku dan ibunya dengan sepenuh hati. Aku mengerti luka hatinya seperti aku mengerti lukaku sendiri. Bahkan setelah persembunyian panjangku darinya, aku dan dia tetap dijalin benang-benang emosional yang tak kasat mata. Begitu nyata, sekaligus begitu menyayat hati. "Sudahlah, anakku sayang, tidak ada yang perlu disesali. Kami bahagia dengan kehidupan kami masing-masing. Maafkan Ayah." Saya mengusap air mata di pipinya, seperti yang selalu saya lakukan dulu, sekarang, dan nanti. Perlahan-lahan ia menghentikan tangisnya. Saya dengan sabar menanti ia menata kembali emosinya. "Bagaimana kamu menilai kenikmatan secangkir kopi?" Tanya saya saat ia mulai tenang. "Aku gak tahu, Yah. Asalkan aromanya sedap dan rasanya enak. Mungkin." "Kopi paling nikmat adalah secangkir kopi yang membuat nafasmu tertahan paling lama setelah meneguknya. Kopi Ayah telah selesai, salah satu kopi paling nikmat yang pernah ada." Nanggulan, 10 Agustus 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline