Lihat ke Halaman Asli

Zahir Makkaraka

Belajar dalam segala hal

Zelfbestuur

Diperbarui: 18 Juni 2016   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Surya semakin menyingsing, lengannya merengkuhku. Hangat terasa, mungkin karena mega memegah hingga panasnya mentari tak sempat menyeduh keluhku. Aku dan siang ini berteman dalam damai. Pun hiruk pikuk mahasiswa tak sepadat kemarin, mungkin mahasiswa juga menikmati siang dengan caranya masing-masing, tidak menemui dosennya yang lagi berdamai dengan siang. 

Waktu yang tepat bagiku, seperti merasakan kemerdekaan lepas dari keluh kesah mahasiswa, rengekan mahasiswa untuk memperbaiki nilainya, ataupun konsultasi pembelajaran lainnya. Iya, hari seperti sebuah kemerdekaan sesaat. Lalu tanya pun bersenggama dengan nuraniku, apakah hari-hari sebelumnya sebuah penjarah dan merasa terjajah? Apakah hanya hari ini saja kemerdekaan? Nurani tak mengatakan itu, mahasiswa adalah duniaku kini.

Siang bagiku sepertinya tak pernah merasakan kemerdekaan, terbatasi malam atau sore. Atau itu sebuah kemerdekaan diantara batas-batas waktu itu? Merdeka menyebar sinarnya dan memanaskan bumi. Sekali lagi mungkin ia tak merdeka, pancaran gemerlapnya bisa saja oleh mega tak sempat menyentuh tubuhku dan kamar-kamarku. Seperti aku hari ini, inikah kemerdakaan dari belenggu tugas dan tanggung jawab? Ah... sudahlah, aku hanya ingin menikmati siang ini tanpa suara mahasiswa, biarlah hening meliputi damaiku.

Kemarin masih menghangat suam diingatanku bahwa kemarin segala bincangku atau boleh dikata mayoritas aksaraku berjatuhan, beriringan pun kadang bersisipan hingga bersisian muaranya tentang kemerdekaan. Iya, kemarin banyak orang termasuk aku jadikan kata "merdeka" sebagai headline. 

Banyak rupanya; ada insan via opini mengungkapkannya, ada kelompok manusia dengan kreatifitasnya di atas panggung mempertunjukkannya, ada dengan gambar atau sekedar siluet mengungkapkannya, dan bahkan ada orang dalam heningnya menggambarkan ungkapannya. Zelfbestuur meraja kemarin, di media sosial, media pemberitaan online, bahkan dipikirku pun ia meraja.

Membilang tahun dari tahun 1916 ke tahun sekarang, seabad sudah cita ideal bangsa pernah dikumandangkan. Lantang suara deklarasikan dihadapan sekitar 800.000 peserta kongres nasional Sarekat Islam tentang pemerintahan sendiri. Oleh Tjokroaminoto, gaungnya tak sekedar bahanakan ruang pertemuan tapi juga semangat kebangsaan se- Indonesia. Begini katanya,“Tuan-tuan jangan takut, bahwa kita dalam rapat ini berani mengucapkan perkataan zelfbestuur atau pemerintahan sendiri… Supaya Hindia lekas dapat pemerintahan sendiri (zelfbestuur)…”

Aku tahu dan kalian mungkin paham bahwa merdekanya negeri itu 17 Agustus 1945, tapi mungkin kalian lupa bahwa 17 Juni 1916 rahim ibu pertiwi ini sudah mulai mengandung kemerdekaan. Dan nyata bagimu bahwa Soekarno-lah yang jadi proklamator, tapi mungkin alpa dalam memorimu bahwa Tjokroaminoto yang dengungkan kata merdeka itu ke telinga Soekarno dan Soekarno yang deklarasikan cita ideal ayah ideologisnya. Aku tahu, mungkinkah kau juga?

Sekali lagi tentang merdeka, aku merdeka menulis kata-kata ini semerdeka hariku ini tanpa mahasiswa ataupun semerdeka hati yang mencinta kepada apa yang dicinta. Atau bisa saja lakuku ini bukanlah kemerdekaan, aku dipenjara oleh kata yang namanya "Merdeka" sehingga kalimatku yang seharusnya santai dihadapan kawan-kawan di ruang dosen aku larutkan dalam ruang sosial yang tak kenal strata dan bangsa. Ah...., mungkin lebih baik aku wujudkan "Zelfbestuur"-ku sendiri dan merumuskan defenisi merdeka semauku sendiri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline