Tadi Malam sambil menikmati pertandingan Barcelona vs Granada, juga membuka beberapa artikel-artikel terbaru di Kompasiana. Artikel yang menarik hati membacanya karena judulnya sangat bombastis (menurutku). Artikel yang berjudul Makassar, Pilih Eva Shabu Caleg Hanura Jadi Legislator ditulis oleh kompasianer senior Ninoy N Karundeng. Setelah membaca opini tersebut, serasa ada nuansa lain dalam hatiku. Sedikit kesal dan mencoba menalarnya lebih dalam lagi hingga saya berani berkomentar (mengungkapkan kegundahan hati) dan balasannya adalah entah jawaban klise atau objektifitasnya mengatakan bahwa "Makanya pilih Eva agar menjadi Kota Shabu, begitu cara membacanya, Bung. Salam bahagia ala saya."
Menurut saudara Adhye Panritalopi dalam artikel terbarunya bahwa penulis yang sudah jadi kompasianer sejak 21 August 2011 menggunakan "logika terbalik" atau meminjam istilah BIN merupakan bagian opini "kontraintelejen." Entahlah, tapi bagi subjektifitas saya (mungkin yang lain juga) sebagai warga Makassar, opini mbak/mas Ninoy telah menciderai "siri' na pacce" yang saya junjung tinggi.
Kalau bang Adhye Panritalopi menguliti tulisan mbak/mas Ninoy lebih banyak dari perspektif hukum dan etis, saya mencoba mencelanya dari sudut pandang yang sedikt berbeda (samanya lebih banyak,he...). Saya mencoba merefleksikan poin-poin yang dikemukakan mbak/mas Ninoy dan mencoba melakukan verifikasi semampu saya.
"Pertama, lebih baik memilih caleg yang senang nyabu daripada caleg yang terindikasi korupsi. Nyabu kan dari duit-duit sendiri. Bukan duit Anda apalagi duit saya. Jadi masih mending penyabu daripada koruptor. Nyabu menunjukkan sikap menikmati hidup, siapa tahu bisa ditularkan kepada masyarakat banyak, kepada seluruh masyarakat Makassar."
Entah bagaimana nasibnya negeri ini ketika perumus legislasi, pemilik hak budgeting dan pengawasan seorang penyabu. Mengasosikan koruptor lebih baik daripada penyabu menurutku sebuah kesalahan berpikir. Pemikiran sempit (oleh bang Adhe menyebutnya "logika bengkok") serasa menguasai nalar tuan/nyonya Karundeng. Efek adaptif dari shabu secara ilmiah pasti akan lebih parah dari sekedar koruptor. Anggota Legislatif yang sudah madat akan bisa mengacaukan sistem, bisa saja akan jadi koruptor, melegalkan shabu, dan segala derivasi prilaku negatif lainnya. Lebih parahkan? Duit yang dipakai nyabu (kelak ketika duduk di dewan) secara tidak langsung menggunakan duit saya, duit Karundeng, n duit rakyat lainnya.
Kalimat terakhir yang begitu menohok naluri dan rasaku, semangat nyabu disamakan semangat/sikap menikmati hidup apalagi diarahkan kepada pola hidup warga Makassar. Sungguh menyakitkan dan menciderai prinsip-prinsip hidup orang Makassar "sipatokkong,sipakatau, dan sipakainge." Terlalu bilang bang Haji Rhoma.
"Kedua, dengan mengosumsi narkoba maka ini menjadi penting karena menggerakkan ekonomi Makassar. dIni penting karena kalau nyabu itu memberikan keuntungan bagi banyak orang dan menciptakan lapangan kerja: bandar narkoba dan kurir. Nah, jika tak ada yang mengonsumsi narkoba seperti Eva Purnama Wahid banyak pengangguran nantinya."
Ekonomi Makassar digerakkan narkoba? Tak bisa saya pungkiri bahwa Makassar merupakan salah satu kota favorit peredaran Narkoba, bahkan pada tahun 2010 Makassar urutan 20 dari 30 kota yang disurvei BNN (http://makassar.antaranews.com/). Pertanyaan kemudian kalau Makassar urutan 20, berarti 19 kota besar lainnya roda ekonominya digerakkan bisnis haram? Argumentasi yang dikemukakan Karundeng tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Nyatanya APBD di Makassar bukan dari bisnis haram itu (http://www.fajar.co.id). Pun ketika bisnis haram itu dijadikan sumber devisa, maka tak akan ada kemaslahatan apalagi rahmat dalam pembangunan kelak. Sesuatu yang haram sumber pastilah tidak akan mengantarkan kebahagiaan.
Kalimat terakhirnya juga lebih bermakna sarkatis, seakan hanya Eva-lah (dan shabu-nya) menjadi solusi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Makassar. Sungguh mengejek, semoga Karundeng di ampuni tuhannya.
"Ketiga, dengan memilih Eva, maka akan sangat bagus bagi promosi Kota Makassar agar dapat dikenal lebih luas sebagai Kota Shabu. Ini jelas akan meningkatkan pendapatan dari sector pariwisata dan perdagangan. Efek domino dari dipilihnya Eva Purnama Wahid adalah akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Makassar karena Makassar menjadi dikenal lebih baik dengan legislatornya adalan tukang nyabu."
Kesalahan berpikir atau vallacy dalam kerangka logika mas/mbak karundeng semakin nyata, overgeneralization. Menyebut Makassar sebagai kota shabu sungguh penghinaan bagi kami warga Makassar. Sama halnya yang diungkapkan bro Adhye Panritalopi dalam tanggapannya, sangat tidak layak asumsi yang dibangun Karundeng, terbantah dengan sendirinya.