Lihat ke Halaman Asli

Zahir Makkaraka

Belajar dalam segala hal

Ramadhan & Perempuan

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan keberkahan, Allah mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa dan mengabulkan do’a. Allah melihat berlomba-lombanya kamu pada bulan ini dan Dia membangga-banggakanmu kepada malaikat-Nya, maka tunjukkanlah kepada Allah hal-hal yang baik dari dirimu. Karena orang-orang yang sengsara ialah yang tidak mendapatkan rahmat Allah di bulan ini.” (H.R. Ath Thabrani, dan periwayatnya tsiqah).

Ramadhan kembali menyapa, segala kegembiraan segenap bertumpah ruah. Bagi insan yang masih melekat iman di dadanya, ramadhan adalah momentum perbaikan diri (ajang muhasabah), karena ramadhan bulan kemuliaan. Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa ramadhan adalah bulan penyucian jiwa, bulan penuh ampunan, bulan penuh rahmah, dan beberapa keistimewaan lainnya. Kegiatan utama dalam ramadhan adalah puasa, dan ini merupakan kewajiban bagi umat yang beriman (QS. Al-Baqarah: 183). Tak kenal laki-laki atau perempuan, remaja hingga kaum tua, selama rukun dan syaratnya terpenuhi, wajiblah melaksanakan puasa. Keutamaan ramadhan semakin sempurna dengan keutamaan puasa. “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Hadits Muttafaq ‘Alaih).

Ada hal yang menarik untuk kita telaah lebih jauh tentang posisi perempuan dalam ramadhan. Bukan karena dorongan "Semangat Patriarki" alasan lahirnya tulisan ini, tapi saya hanya ingin mengungkap sedikit makna ramadhan terhadap perempuan. Karena kita sudah mahfum bahwa dalam peribadatan, beberapa dalil naqli dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits mengabarkan keringanan-keringanan kepada perempuan saat menjalankan syariat agama. Hal ini memberikan isyarat kepada kita bahwa islam sangat memuliakan perempuan, tidak sebagaimana yang dipersepsikan kaum islamiphobia.

A.  Hukum perempuan melaksanakan puasa

Puasa dan ramadhan senantiasa berkaitan erat, begitupun perempuan. “Islam itu dibangun atas lima perkara: syahadat Laa Ilaaha Illallaah wa Anna Muhammadan ‘Abduhu wa Rasuluhu, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Al-Bait (Ka’bah) dan puasa Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih). Berdasarkan hal tersebut, maka seseorang yang telah mencapai masa baligh dan memenuhi syarat-syarat taklif (pembebanan syariat’ padanya) wajib untuk melaksanakan perintah puasa Ramadhan ini, baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam melaksanakan puasa dibulan ramadhan, ada kondisi yang menyebabkan perempuan dikenakan hukum pengecualian (lihat QS. Al-Baqarah: 184-188). Dalam fiqih perempuan tentang puasa, ada sebab khusus yang menyebabkan pengecualian hukum, seperti haid (hadits diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim), hamil dan menyusui (“Sesungguhnya Allah Ta’aala meletakkan puasa dan seperdua shalat dari seorang musafir dan (meletakkan) puasa dari wanita yang hamil atau menyusui.” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no. 715, Abu Daud no. 2408, dan Ibnu Maajah no. 1667 dari Anas bin Maalik Al-Ka’by).

B. Ramadhan, perempuan dan semangat konsumerisme

Ada hal menarik ketika ramadhan dan puasa datang, antusiasme beribadah begitu tinggi. Tak kenal gender dan status sosial, semua diliputi efouria. Semangat seirama dengan sebuah hadits yang menyebutkan "Barang siapa yang menyambut ramadhan dengan penuh kegembiraan, maka diharamkan jasadnya dari api neraka". Tidak ada yang salah dengan kegembiraan itu, yang menjadi problem ketika kegembiraan itu disusupi sifat riya.

Fenomena di tengah masyarakat kita ketika menyambut ramadhan begitu riuh. Secara simbolik, bangunan tradisi dan adat istiadat kadang lebih menguat dibanding nuansa islami. Pembudayaan kadang mengabaikan nilai-nilai universal islam. Nuansa pesta mengalahkan kesederhanaan, foya-foya melalaikan sedekah, tumpengan terkesan mubassir, dan yang paling parah adalah semangat konsumerisme menjelang ramadhan (juga akhir ramadhan) begitu tinggi. Lihat saja pusat perekonomian, seperti pasar dan pusat perbelanjaan begitu ramai di awal dan akhir ramadhan.

Pelaku utamanya tentulah perempuan (kalau ibu rumah tangga sih ga apa-apa, karena biasanya IRT hanya ke pasar untuk kebutuhan keluarga). Malam pertama shalat tarawih, seperti penulis yang sering lihat, masjid bukan lagi tempat bertafakkur dan beribadah, tapi masjid telah menjadi tempat untuk ajang mode dan gaya. Penulis terbiasa datang awal ke masjid dan kadang sebelum masuk masjid memperhatikan realitas di luar masjid. Remaja ataupun dewasa sebelum masuk masjid pasti membincangkan tentang mukenah baru, jilbab baru, pakaian baru, dan sajadah baru. Ketika di dalam masjid pun masih membahas hal tersebut.

Semangat konsumerisme akan semakin menguat kala ramadhan akan segera berakhir. Perempuan semakin sibuk dengan persiapan "idul fitri". Disinilah perempuan semakin khusyuk menunjukkan eksistensinya, tapi semakin tidak khusyuk dalam ibadah ritualnya. Membuat kue, beli baju baru, dan sebagainya menjadikan masjid-masjid semakin "maju shaf"-nya, dalam artian jamaah masjid semakin berkuran, dan pelakon utamanya (menurut subjektifitas penulis) adalah perempuan. Pergeseran laku semakin nyata antara awal puasa dengan kondisi menjelang lebaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline