Shalat isya telah tersambangi, aku letakkan jejak-jejak kaki disepanjang jalan setapak antara kos dengan masjid, sekitar 200 meter celahnya. Malam dipenuhi gelap, ringkih dengan keheningannya. Kembali sudut malam dipenuhi kesunyian. Sampaiku di istana keramahan dan kemarahanku, kupandangi buku-buku yang berserakan, kurapikan seketika, dan buku yang judulnya "Tafsir Sosial Atas Kenyataan" menjadi yang terbelakang kupungut, kini berada diposisi teratas tumpukan itu. Mungkin seperti itu kehidupan, kadang di belakang dan kadang di atas. Tak abadi, serupa rasa yang kadang menyelimutiku, bahagia dan sedih menjadi warna-warninya.
Syukur dan Qanaah mesti kujadikan kawan setiaku, biarkan pengetahuan dan kenyataan bermanifestasi di ruang-ruangku yang dipenuhi selaksa gelap gulita. Biarkan saja sepi datang, yang jelas vertigo relativitas terhadap dimensi empirisku tidak menderaku. Kubiarkan orang lain menentukan dasein-ku, dan kutetapkan aku sendiri merumuskan sosein-ku. Disini dan sekarang yang hadir kehidupanku kini merupakan realissium bagi kesadaranku. Kenyataanku yang entah bermakna di wilayah finite dan encleve kubiarkan saja tak menentu. Mungkin ini caraku ber-equelibrium dengan semesta. Tuhan yang lebih tahu, aku hanya hamba yang mengabdi pada-Nya.
Siang hingga senja merambati waktuku, aku dilingkupi tanya, tanya yang besar, hingga penghujung sore tak bisa kunikmati indah. Aku mengada dalam sine ira et studio (tenang tanpa prasangka), terbebas aku dalam absurd persepsi tentangmu. Ergo sum (aku ada) diantara sadar dan ketidaksadaranku, sadar bahwa aku tak pantas berada disisimu, dan ketidaksadaranku pada sisi yang lain, ingin mengelilingi ruang bersamamu. De facto aku mengagumimu, bukan perias yang menghiasi wajahmu, itu tak mungkin karena rupamu tak pernah kupandang. Bukan pula senyummu, karena mata telanjang ini tak pernah menemukan wujudmu. Bukan jasadmu, bukan ragamu, bukan pesonamu, bukan sesuatu yang terimajinasi dalam strata kecantikan. Yang membuatku meluruh dalam rasaku ini, kabar-kabar prestasi dan akhlakmu yang menjulang, bak mercusuar digelap gulita mengarahkan nakhoda. Mengarahkan kagumku padamu. Hanya itu, bukan yang lain.
Hal ini bukan a compelling massivity, tapi ini kenyataan obyektif yang hendak diinternalisasikan, bukan seketika, tapi penuh rencana, serupa ketetapan Tuhan tentang kita yang penuh misteri, yang tak kita tahu. Kebersamaan secara de jure merupakan anganku, entah anganmu, aku tak tahu serupa wujudmu yang belum kukenal, serupa rupamu yang tak pernah kupandang, serupa angan-angan yang melanglang buana, mengangkasa, melintasi rimba raya. Kamu masih misteri buatku, entah kapan kita dipersuakan. Salam malam padamu yang tak sempurna!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H