Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Mahasiswa Itu Tidak Penting

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Betapa sungguh tidak pentingnya menjadi seorang mahasiswa. Benar-benar hanya membuang-buang waktu saja. Juga membuang-buang uang dan energi. Belum lagi kalau di reken hal-hal lainnya yang turut menjadi tersia-sia. Kertas-kertas bekas perkuliahan yang menjadi tambahan bagi sampah-sampah rumah tangga setiap harinya. Gaji para orang tua yang terpaksa berkurang tiap bulan untuk mengongkosi keperluan pembelian kosmetik, pakaian, kos-kosan bahkan bisa jadi juga kendaraan bagi anak-anaknya. Jika imajinasi saya terwujud, maka fenomena-fenomena diatas tadi itu akan menyata.

Suatu ketika pada sebuah masa, saya berkhayal dunia kerja kita tidak lagi mengharuskan seseorang untuk menjadi sarjana dulu agar bisa masuk dan melamar bekerja pada suatu perusahaan. Perusahaan-perusahaan tidak lagi membutuhkan sarjana atau orang bertitel. Mereka lebih membutuhkan seseorang yang mau bekerja saja, yang mampu menyelesaikan apapun bidang yang ditugaskan kepadanya saja, yang secara ikhlas menumpahkan segenap kemampuan untuk kemajuan perusahaan sekaligus kemajuan jatidirinya saja. Anak-anak lulusan SMA tidak lagi harus menunggu hingga 4-5 tahun untuk baru bisa mengajukan lamaran kerja. Semuanya jadi secara alamiah dan maksimal mengasah kemampuan personalnya saat SMA agar segera terlihat oleh perusahaan-perusahaan.

Dalam khayal saya, orang-orang tua yang punya anak gadis jauh lebih bijaksana. Tidak lagi mengharuskan calon menantunya datang melamar anak gadisnya dengan label titel dan tetek bengeknya. Para calon menantu menjadi lebih rileks dan tidak tegang ketika berbincang dengan calon mertuanya. Persaingan saling menjatuhkan antar jejaka yang hendak meminang dara menjadi jauh lebih sehat dan apa adanya. Tidak ada lagi dosa karena sikap riya ketika menujukkan ijazah universitas ternama.

Dalam dunia khayal saya, tingkat stres akan jauh lebih berkurang jumlahnya karena dosen-dosen tidak perlu lagi mengurus mahasiswa dalam jumlah banyak. Anak-anak muda yang stres karena tekanan waktu dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah akan menghilang dari data tentang tingkat stres usia muda. Kampus-kampus menjadi lebih efisien anggarannya karena tak harus lagi membangun ruangan yang besar untuk perkuliahan.

Tetapi siapakah yang sanggup menjadi pengikut saya untuk mewujudkan khayalan ini?. Kita membutuhkan suatu gerakan yang kuat dan solid untuk membuatnya menjadi kenyataan. Kita membutuhkan orang-orang berenergi besar dan berani, juga memahami seluk beluk dan intrik seputar dunia kemahasiswaan untuk segera bisa menggesernya dari imaji ke realiti. Lebih dari itu, kita juga membutuhkan suatu kelompok, bukan orang perorang- yang sanggup membaca pergerakan sosial dari hari ke hari yang sedikit banyaknya akan membutuhkan pembacaan atas teori-teori sosial dari masa ke masa. Mungkin juga, kita akan membutuhkan kelompok yang mampu bersuara bebas, menghindari tekanan kiri-kanan, dan yang belum tersentuh kepentingan-kepentingan pribadi (vested interest).

Saya kirim SMS ke seorang teman lama. Teman yang dulu saya kenal turut terjun menjadi aktivis mahasiswa. Ia bilang ia bisa mencarikan kelompok seperti itu. mereka berbasis di kampus-kampus. Kelompok mahasiswa. Ah sialan! Ternyata menjadi mahasiswa itu masih penting!. (Nala Arung, Manusia yang diberi titel DO oleh dosen agar bisa menyebut diriku mantan mahasiswa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline