Arum Sekar Adyota, Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Islam Sultan agung.
Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum, Unissula.
Dewasa ini, perkembangan zaman semakin lama semakin maju. Menyeret semua kalangan manusia masuk kedalam tatanan yang baru ini. Perubahan pola pikir juga ikut serta dalam peradaban baru. Kita sudah tidak lagi terbelenggu dengan pemikiran-pemikiran yang picik dan mencekik suatu pihak.
Orang-orang dipaksa untuk memiliki pikiran yang modern. Seringkali ditemukan orang yang menyeleweng dari opini yang modern, tidak segan-segan dibabat habis oleh para penggerak fenomena ini, yang selanjutnya sering disebut oleh kaum muda dengan istilah open-minded.
Open minded sendiri merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris yang artinya pikiran yang terbuka. Secara umum, orang-orang akan memaknai open minded dengan pikiran seorang individu yang dapat menerima perbedaan dengan individu lain. Tentunya hal ini sangatlah penting bagi masyarakat pada belahan dunia manapun, termasuk negara kita sendiri, Indonesia.
Open-minded menggiring kita pada sikap toleransi yang tinggi karena kita sebagai seorang yang open-minded diharuskan untuk menerima perbedaan-perbedaan yang ada.
Akan tetapi, bagaimana jika fenomena open-minded ini telah pergi terlalu jauh? Agaknya orang-orang terlalu dalam dalam memikirkan konsep dari open-minded ini, sehingga tak sedikit yang mulai berlebihan dalam menerapkan pola pikir yang terbuka.
Salah satu peristiwa tebaru yang menarik perhatian saya mengenai miskonsepsi ini adalah saat Piala Dunia 2022 yang diselenggarakan di Qatar beberapa waktu lalu. Di negara Qatar, ada suatu aturan dimana pemain, penggemar, jurnalis, atau siapapun yang datang pada acara tersebut dilarang memakai atribut yang berbau bentuk dukungan atau promosi terhadap gerakan LGBT dan sejenisnya.
Hal ini dikarenakan Qatar merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Dalam implementasi sebagai negara beragama, Qatar menganggap gerakan LGBT sebagai bentuk perilaku yang menyimpang norma.
Sontak hal itu menuai pro-kontra dari berbagai pihak. Beberapa pihak terlihat keberatan atas larangan yang digaungkan oleh sang tuan rumah. Mereka dianggap mendiskriminasi suatu pihak atas tindakan mereka.
Dengan kata lain mereka tidak open-minded seperti yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang zaman modern ini. Akan tetapi apakah dengan menyetujui perilaku yang menyimpang itu bisa dikatakan sebagai open-minded? Apakah open-minded dalam penerapannya tidak dibarengi dengan sikap melek norma beragama yang sangat melarang tindakan LGBT dan sejenisnya?