Lihat ke Halaman Asli

Arum Nurmawaddah

Penulis kadang-kadang

Pengakuan Seorang Aktivis Anti Rokok

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya masuk gerakan antirokok tahun 2008. Sebelumnya saya aktif di LSM yang mengurus kesehatan ibu dan anak. Selama 5 tahun saya aktif di lembaga tersebut. Namun karena konflik internal, saya akhirnya pindah ke sebuah LSM di Jakarta yang menangani isu rokok.

Saya bukan perokok. Saya pikir di LSM tersebut saya akan bertemu orang-orang yang tulus berjuang. Tapi saya salah sangka. Saya syok pertama kali ketika ada pertemuan koalisi dengan LSM-LSM lain. Ternyata banyak perempuan dan laki-laki di pertemuan itu yang perokok. Di sela istirahat makan siang, mereka bergerombol di luar hotel sambil merokok. Ketika saya tanya ke salah satu dari mereka jawabannya: Kan ini program untuk mendapatkan uang, lagian ngerokok sedikit apa sih salahnya?

Saya benar-benar kaget dengan ungkapan yang disertai tertawa itu. Tapi sesungguhnya ada yang membuat saya tidak cocok lagi, dalam workshop 4 hari itu, pembahasan soal kampanye kreatif hanya sedikit. Padahal judul kegiatan tersebut adalah capacity building untuk melakukan kampanye kreatif. Hampir semua waktu lebih banyak dipakai untuk membahas bagaimana mendapatkan uang untuk mendanai kegiatan-kegiatan.

Padahal saya tahu persis lembaga-lembaga yang berkumpul di workshop tersebut sudah dapat dana dari beberapa lembaga donor. Kenapa masih harus sibuk mencari uang pendanaan kegiatan? Dan yang lebih tidak saya sukai adalah sering dalam obrolan itu ada yang berseloroh sebaiknya memeras pengusaha rokok saja. Saya benar-benar mual dengan statement seperti itu. Bagi saya pengusaha rokok adalah musuh besar. Kenapa teman-teman saya malah mengatakan seperti itu?

Semangat awal saya berjuang untuk memerangi peningkatan perokok pemula makin terpuruk ketika saya ikut rapat akhir tahun dengan lembaga donor. Lembaga donor itu complain karena banyak lembaga yang dibiayainya tidak tertib dalam melakukan kegiatan dan bermasalah dalam laporan keuangan mereka. Situasi agak tegang.

Seorang aktivis yang lembaganya dicomplain tampak berang, dengan mukanya yang sangar, dia marah besar. Dia bilang, musuh kita ini orang-orang hebat dengan dukungan uang yang hebat, uang kalian itu kurang!

Saya benar-benar tidak mengerti. Sebab saya tahu persis berapa miliar uang yang dikucurkan lembaga donor ke lembaga aktivis tersebut. Sekalipun tidak mendapatkan porsi yang banyak, lembaganya mendapatkan dana 3 kali lipat dibanding lembaga saya. Terus kenapa dia harus marah-marah seperti itu? Padahal yang dievaluasi kan kinerja program dan pertanggungjawaban keuangannya?

Saya juga kecewa dengan implementasi beberapa program. Mestinya dana yang ada bisa dimaksimalkan untuk melakukan kampanye-kampanye langsung ke anak-anak muda. Tapi malah banyak dipakai untuk kampanye di dunia maya, iklan layanan masyarakat dan membuat media-media yang menurut saya kurang optimal. Bahkan saya berpendapat sebetulnya mereka bekerja untuk enaknya saja. Bukan karena pertimbangan mana yang lebih penting. Sungguh mengecewakan terlebih gaji konsultan yang tidak bekerja secara langsung bisa sama dengan 3 kali lipat gaji saya yang bekerja 5 hari dalam satu minggu.

Tapi puncak kejengkelan saya adalah saat mengikuti pertemuan nasional antarlembaga donor. Di sana alih-alih lembaga-lembaga implementor mempresentasikan persoalan dan solusi. Yang terjadi justru mereka banyak memaparkan beratnya bekerja memperjuangkan Indonesia bebas rokok. Kemudian ditutup dengan kesimpulan harus makin banyak program dan makin banyak uang yang dibutuhkan.

Saya benar-benar malu sekali. Saya merasa apa yang bertahun-tahun kami kerjakan kurang optimal, bukan karena kurang uang. Tapi kenapa yang diminta selalu uang dan uang? Beginikah mental para aktivis kita?

Sepulang dari pertemuan itu, setahun kemudian, saya mengundurkan diri. Saya tidak enak makan gaji buta. Saya tidak bisa berpikir seperti yang dipikirkan teman-teman saya.

Saya sungguh berharap dan berdoa, mereka kembali bekerja di jalan yang benar di jalan perjuangan. Bukan jalan mencari uang.

* Atikah Raisala (Bukan nama sebenarnya). Kini ia bekerja sebagai guru di TK Internasional di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline