Entah dari pintu dan jendela manakah aku memasuki ranah ini. Ranah yang tak kutemukan tanda-tanda kehidupan di setiap sudut ruangnya. Hanya angin dan daun-daun kering yang jatuh dari pucuknya eukaliptus senja.
Terlalu besar untuk bisa dikatakan sebuah kota dan terlalu kecil untuk bisa dikatakan sebuah negeri, entah apa namanya. Aku pun mulai melangkahkan kaki, menegaskan segala tanya. Angin yang terus berayun mengantarkan sehelai daun tepat di depan pelupuk mataku.
Kuamati lamat-lamat tiap ruas di daun itu. Rupanya tertulis satu kata di sana, "RINDU".
Kubaca daun-daun yang lain, masih sama dan selalu sama, "RINDU". Dari situ, aku mulai paham ada sebuah kisah di ranah ini. Kisah yang menghabiskan segala rindu di setiap waktu penciptaannya.
Rindu yang bersemayam dalam jiwa Pangeran Athan dan Putri Aisy, dialah rindu yang enggan menamai dirinya sebagai obituari. Dengarkanlah! Aku akan bercerita.
;Arsinta Keil.
***
Selasa, 01 Maret 1976
Kerajaan ini bernama Rindu. Dibangun oleh batu amanta dan tanah kesetiaan. Atapnya sajak-sajak renta, dindingnya huruf-huruf kekasih yang jarang bermesraan.
Sederhana memang, namun di setiap bilik ruangnya adalah keamanan dari segala narasi usia. Setiap kerajaan memiliki seorang pangeran dan putri yang memegang kekuasaan tertinggi tahta kerajaan.
Namun sayang, di kerajaan Rindu inilah sebuah keharusan menjadi sebuah keterasingan. Ketika seorang putri harus dipisahkan dari pangerannya karena sebuah kewajiban. Ketika sebuah kerajaan yang dititahkan namanya sebagai "Kapilawastu" harus diganti cuma-cuma sebagai "Rindu" karena putrinya yang dibunuh rindu setiap waktunya.