"Cobalah menapaki anak tangga baru, langkahkan lah karena itu akan membuat mu makin tinggi satu anak tangga daripada dirimu sebelumnya. Bahwa pribadi yang kemarin ialah merupakan pribadi yang belum dewasa. Oleh karenanya, kita patut mencoba untuk melangkah; terlepas apapun hasilnya"
Apa yang terbesit dalam benak saudara kompasioner ketika mendengar kata masa lalu? Tentu yang akan muncul perlahan adalah kenangan dari setiap kita; kenangan buruk atau baik. Lalu, ketika kita teringat dengan masa lalu tersebut, kira-kira hal apalagi yang akan muncul? Jikalau ditinjau dari perspektif saya tentu ada dua hal: penyesalan dan ingin mengulangi lagi. Kedua hal tersebut tergantung pada konteks kenangan apa yang saudara dan saudari sendiri ingat.
Tentu penyesalan akan saya kawinkan dengan kenangan yang buruk, dan pengulangan kembali hanya akan saya lakukan ketika kenangan itu baik. Jika ditarik dan dilihat kembali, setiap manusia memiliki kenangan masa lalu. Pada artikel ini, saya akan coba mengkurasi kenangan yang menurut pengalaman pribadi merupakan hal buruk di masa lalu. Sehingga, dapat timbul penyesalan yang berlebihan dan mengalami kesulitan ketika ingin melangkah ke depan.
Sudah hampir tiga tahun saya berkuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Menjadi mahasiswa dengan predikat 'anak swasta' di pertengahan tahun 2018, resmi kusandang. Setahun perkuliahan kujalani dengan setengah hati dan masih terganggu dengan memori masa lalu; kegagalan di berbagai jalur untuk menembus perguruan tinggi negeri. Ketidakikhlasan itu membuat saya merasa berat untuk menyandang status 'anak swasta'. Entah kenapa, hati saya belum rela untuk berbagi tempat dengan kondisi saya kala itu. Hati dan otak ini serasa tidak ikhlas menyandang status itu.
Pikiranku di tahun pertama adalah bagaimana caranya agar saya dapat keluar dari kampus yang kini menjadi almamater saya. Hingga setahun perkuliahan kuhabiskan untuk memacu diri dengan belajar untuk dapat tes di tahun selanjutnya. Di tengah ketidakikhlasan menjalani perkuliahan, kuputuskan untuk bergabung di salah satu lembaga pers tingkat fakultas, pikirku agar tidak terlalu gabut ketika kuliah setahun di sini. Ah, begitu percaya diri dan tidak bersyukurnya saya waktu itu!
Liburan akhir semester setelah UAS pun tiba. Kuputuskan untuk tidak balik ke kampung halaman. Hal tersebut kugunakan belajar guna membalas dendam yang belum tuntas; tes masuk perguruan tinggi negeri. Di sela-sela liburan dan belajarku, notifikasi Line dari grup angkatan berbunyi. Informasi yang ada dari notif tersebut adalah fakultasku mencari 5 orang delegasi untuk mewakili tiap angkatan untuk mengikuti asessment visitation pada program studi (prodi) yang saya tempuh.
Tanpa berpikir panjang, kucoba untuk apply. Hasilnya saya diterima dan dinyatakan dapat bergabung dengan empat orang angkatanku untuk mengikuti asesmen tersebut. Singkat cerita, asesmen tersebut digunakan untuk memberikan akreditasi tingkat ASEAN bagi prodi kami. Asesmen yang berlangsung kurang lebih tiga hari tersebut membuahkan hasil positif. Prodi kami kini resmi menyandang akreditasi Asean University Network-Quality Assurance (AUN-QA). Tentu, diri ini turut bangga dan bahagia akan hasil tersebut.
Melepas proses tersebut, proses pengejaran untuk menyandang 'anak negeri' masih terus kuperjuangkan hingga tes tiba. Di tengah perjuangan itu, alhamdulillahnya saya mendapati sebuah amanah dari Pemimpin Umum organisasi di mana saya bernaung untuk menyandang jabatan koordinator. Di satu sisi diri ini senang dan di sisi lain tentu mengalami tekanan yang sangat berat. Singkat cerita, hasil tes yang saya ikuti gagal di berbagai jalur. Tertinggallah kini mimpi yang harus kukubur dalam dan harus rela memberi ruang bagi jiwa dan raga untuk menapaki anak tangga selanjutnya.
Menjabati kedudukan dan posisi baru dalam struktur kelembagaan tentu hal yang baru. Namun, diri ini belum mampu untuk merelakan hal yang telah lewat dan hanya tersimpan sebagai kenangan masa lalu. Dilema, bimbang, dan rasa tidak percaya diri kerap mendatangi diri ini. Hal tersebut cenderung memberikan dampak negatif.
Alhasil, kinerja saya dalam beberapa bulan di lembaga yang saya ikuti kurang maksimal. September 2019 menjadi babak baru bagiku untuk benar-benar lepas dan rela dengan masa lalu tersebut. Kini, yang kupikirkan hanyalah fokus untuk mengemban amanah sebaik mungkin dan mencoba meraih kebahagiaan dalam diri. Karena dalam beberapa bulan setelah tes tersebut, diri ini sering mengalami insecure berlebihan. Selain itu membandingkan diri dengan teman yang saya rasa lebih good in his/her way, kerap kali mampir dan singgah di otak. Hal tersebut adalah tentu bukan suatu hal yang baik.