Minggu 19 Mei 2002, hari dimana seorang putra terlahir di muka bumi. " Alhamdulillah bu, anak ibu terlahir normal, bayi nya laki-laki " ucap seorang bidan di desa penuh cerita tersebut, datang lah seorang pria membawa sebilah golok sambil tergopoh-gopoh. " Pak," sahut wanita tersebut padanya. Pria tersebut membawa golok bukan untuk hal kejahatan melainkan golok yang di pesan sudah selesai dan bertepatan saat bayi itu lahir, perjuangan mereka tak bisa di nilai oleh apapun, wanita yang berjuang melahirkannya secara normal dan seorang pria yang mendampinginya.
Beberapa hari kemudian bayi yang terlahir tersebut di beri nama Ahmad Khoirul Huda, ya itu aku, bayi tersebut adalah aku, terlahir dari keluarga yang pas-pas an, pas butuh pas ada. Tak lama setelah aku lahir, nenek dari ayahku meninggal dunia, aku tidak sempat melihat wajahnya karena umurku masih seumur jagung. Meski begitu aku sekarang masih dapat melihatnya lewat foto, ya mata nya sangat mirip denganku, sipit dan seperti orang mengantuk.
Beranjak dewasa aku mulai menjadi anak yang pandai, itu kata ayahku saat aku kecil. Aku ingat masa kecilku sering kuhabiskan di pabrik kain bersama ayahku, melihatnya memotong kain, mewarnai kain hingga menjemur kain. Ya, sejak dari kecil teman ku memang hanya dapat di hitung oleh jari, hingga suatu waktu ayahku mengajak ku membuat sebuah Truk pasir, ya truk pasir dari kayu " Wah kamu jago juga membuatnya " sahut saudara ku, aku tidak tahu apa maksudnya yang jelas ini bukan buatanku, melainkan ini kubuat bersama ayahku.
Hingga umur ku genap enam tahun, aku akhirnya akan sekolah, ini yang kunantikan sejak lama, aku berharap dapat memiliki teman yang banyak. Selang beberapa bulan aku akan sekolah kakek dari ibu ku meninggal dunia, aku tak mengerti kenapa ini terjadi, aku hanya bocah polos yang hanya bisa meminta makan pada ibu saat lapar, semua saudara ku menangis, aku kebingungan sendiri, pria yang selalu menyayangiku saat aku berkunjung padanya lantas kini tiada, " Ma, kok abah tidur terus ? " sahutku pada ibu, " Kakek meninggal nak " ucap ibuku dengan wajah bersedih.
Akhirnya sekolah pun tiba, jarak rumah ke sekolah ku lumayan jauh untuk anak seusia ku saat itu, waktu pertama kali aku sekolah aku tidak kenal siapa-siapa, tidak bisa membaca , ya maklum saja bocah ini tidak sekolah TK atau semacam nya. Aku ingat waktu itu aku menangis di tinggal ibuku keluar kelas, lantas saja mama ku menemaniku di dalam kelas, ya hanya mama ku yang tinggal di kelas, aku yang paling cengeng. Tapi waktu demi waktu aku mulai terbiasa, aku memiliki teman sebangku dan kamipun mulai akrab mengobrol, cukup lama mama ku tinggal bersama ku dikelas, ya satu minggu kurasa.
Hingga waktu berjalan tiba, saatnya aku melaksanakan ujian nasional tingkat SD. Namun, saat itu pun kakek dari ayahku meningga dunia, aku sudah mengerti saat itu, aku ingat kakekku sebelum meninggal sangat dekat denganku, aku sering di ajak mengobrol dengannya, bercerita tentang masa Perang Dunia ke-2, " Jang, maneh kudu jadi presiden, ngarah bisa mawa nagri ieu kanu bener " sahut kakek ku dalam bahasa sunda, jika diterjemahkan seperti ini artinya " Nak, kamu harus jadi presiden, supaya bisa membawa negeri ini di jalan yang benar " sangat ingat aku kata perkata darinya.
Aku pun sudah berumur empat belas tahun, aku mulai sekolah di salah satu SMP di desa penuh cerita ini. Jujur masa SMP ku sedikit nakal, ya kenakalan remaja pada umumnya, namun di masa ini juga aku merasakan sebuah kepergian yang terdalam. Setiap hari, aku sering membantu ayahku memperbaiki sesuatu, ya seperti motor, atap rumah yang bocor dll. Sampai suatu saat ayah ku berkata " Nak, kamu tahu inilah yang dinamakan mengaplikasikan teori sekolah " sontak saja aku tidak mengereti apa maksudnya, berhari-hari aku memikirkannya akhirnya aku mendapat ilham, ya teori sains yang kupelajari di sekolah sangat ada sangkut pautnya dengan praktik yang sering ku lakukan di rumah bersama ayahku.
Malam itu, ayahku sakit keras, dia memanggil ku dan berkata " Nak, jika ayah pergi, jadilah anak yang berguna, teruskan cita cita mu, jadilah presiden , dan kamu atur negri ini dengan benar " kenapa pepatah ini ku dengar lagi, pepatah ini sama seperti kakekku dulu. Aku mulai berburuk sangka, memikirkan sesuatu yang terlalu jauh. Namun, ayahku akhirnya sembuh dan sudah bisa beraktivitas seperti biasanya.
Akhirnya, ujian nasional mulai tiba, aku mulai menginjakkan kaki di kelas 3 SMP, sangat bangga sekali, aku akhirnya satu tahun lagi bisa memakai seragam putih abu. Namun, nenek ku dari mama meninggal dunia, sungguh ini berat sekali, tapi aku ikhlaskan saja memang sudah takdirnya dan aku pun memang mengerti nenek ku sudah sakit sejak lama, teringat nenek ku sangat menyayangi ku, suka memberiku kacang goreng dan memanjakan cucunya ini.
Empat bulan akhirnya tersisa untuk mengikuti Ujian Nasional, aku sangat focus pada Ujian saat itu, hingga waktu tiba, ayahku jatuh sakit. Sakit yang di derita sunggu berat, ya komplikasi, di mulai dari gula darah tinggi, hingga riwayat batu ginjalnya yang kambuh, disini tak ada yang merawat, hingga akhirnya ayahku di bawa ke Kota Payung Kertas untuk dirawat di rumah sakit bersama kakak nya. Memang jarak nya sangat jauh, 114 KM yang harus ditempuh oleh orang yang sedang sakit. Aku dan kakak ku ditinggal di sini, mama ku pergi kesana untuk menemani ayahku, aku paham saat itu ekonomi keluarga ku sedang tidak baik baik saja, makanya ayah ku dirawat disana agar semua biaya di tanggung oleh kakaknya yang ada di Kota Payung Kertas.
Saat itupun, ayahku ingin pulang ke rumahnya, mungkin ini pesan terakhirnya. Akhirnya aku bersama kakak dan saudara ku menjeputnya ke sana dan membawa kembali ke desa, ayahku harus dirawat di UGD, karena kondisinya yang semakin memburuk. Beruntung, kami adalah keluarga yang terdaftar di dalam keluarga tidak mampu, kami memiliki KIS yang dapat meringankan beban perawatan.