Lihat ke Halaman Asli

Kereta Paling Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara tentang Indonesia tak lepas tentunya dengan kondisi bangsa ini dalam berbagai tingkat dan luasan masyarakatnya. Kekhasan, kemarjinalan, diferensiasi, dan keanekaragaman budaya dan sikap selalu menjadi wajah menarik bangsa ini. Wajah yang selalu tersenyum, mengerut dengan berbagai bentuk menghiasi garis raut wajah.

Bagi sebagian masyarakat terutama yang berada di perkotaan dengan tingkat kehidupan yang makmur, senantiasa bergaul dan berkumpul di tempat keramaian elit, mall, pusat hiburan dan sejenisnya pasti kurang merasakan bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia pinggiran jauh dari namanya kemewahan hidup. Yang ada bisa jadi hanya sebuah aktivitas bagaimana hidup dan menghidupi tanpa embel-embel kesenangan.

Menapaki pagi dengan menatap mentari yang baru bangun dari peraduan melalui sebuah jendela, menyongsong perjalanan, mengikuti deru mesin-mesin kereta yang senantiasa memberikan bunyi-bunyi nyaring teratur selama perjalanan  ini. Perjalanan menggunakan kereta ekonomi Rapih Dhoho.

Seorang ibu yang sedang mengipas-ngipasi anaknya yang kepanasan dalam kereta ini. Begitulah kereta ekonomi yang hanya memanfaatkan angin alami dari luar jendela kereta. Akan semakin panas dengan tak ada udara bergerak dari luar saat kereta ini berhenti menunggu kereta-kereta yang didahulukan karena keistimewaannya.

Terlihat seorang bapak dengan segendong barang dalam karung entah itu apa, barang kali dagangan untuk diperjualbelikan kembali di desanya.

Beberapa kumpulan mahasiswa yang pulang kampung, saling berbagi tempat duduk dengan teman-temannya, maklum kereta sudah penuh sesak. Walau demikian mereka menikmati dengan berbagi canda selama perjalanan. Buat mereka perjalanan tak terasa jauh saat bersama teman dan selalu bercerita.

Sepasang bapak-ibu yang sudah tua renta berpakaian batik dan kebaya seumurannya duduk berdamping walaupun berhimpitan. Menikmati perjalanan jauh demi menghadiri pernikahan sanak saudara nun jauh di Madiun, yah bercampur baur dengan penumpang kereta lain, yang berarti bercampur aroma juga dengan mereka.

Sering kali ada pengamen yang memberikan suara khas, khas pengamen yang tak sebagus penyanyi tapi tak sejelek suara fales saya. Hanya bermodal gitar yang sudah usang pun bisa bernyanyi.

Lorong kereta pun jadi tempat untuk berduduk ria sekedar untuk mengistirahatkan badan, atau duduk di lorong pintu masuk kereta di depan toilet yang tak pernah kali dibersihkan yang bau pesingnya menyengat tak apa, dengan mengisap sepuntung rokok yang penting bisa menuju tempat yang diinginkan dengan biaya murah.

Sampah berserakan di sana sini sudah menjadi pemandangan lumrah. Suara teriakan penjual yang sedang mempersuasikan barang dagangannya ke orang-orang di kereta ini, saling bersahut-sahutan tiada henti hingga tujuan akhir tiba. Sama-sama membutuhkan, satunya butuh makanan dan minuman di kereta yang panas ini, satunya lagi barang jualannya terjual laris untuk menghidupkan hidupnya.

Kereta itu kereta Api Ekonomi Rapih Dhoho, Tujuannya Surabaya-Madiun. Kereta yang selalu setia menemani masyarakat marjinal bawah untuk menuju tempat selanjutnya dengan biaya semampu mereka. Tak ada tentunya yang menarik di sini kecuali kita mampu merenung dan mendapatkan pelajaran bahwa  di sinilah wajah-wajah Indonesia, paling mampu memberikan gambaran masyarakat Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline