Lihat ke Halaman Asli

Stasiun Kecil

Diperbarui: 8 Juli 2023   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Thn 1969-1970 aku tinggal di Sentang, sebuah desa di dekat Kisaran, Asahan. Saat itu aku masih kelas 1-2 SD. Rumahku persis di depan stasiun kecil KA. Bapak kerja sebagai Kepala Pabrik di pabrik pengolahan getah karet yang letaknya tidak jauh stasiun. Di halaman pabrik itu ada kolam yang isinya getah campur air. Kalau getah sudah kering, getah terapung seperti kasur besar. Aku sering berlari-lari di atasnya.

Di dekat rumahku tinggal seorang laki2 yang hidup sendiri. Namanya Surip. Kedua kakinya cacat. Jika dia mau berjalan, dia melipat kedua kakinya, mengalasinya dengan karet yang diikat di pinggangnya lalu berjalan dengan kedua tangannya. Sekalipun cacat, Surip tetap lincah. Beberapa tahun kemudian ketika kami sudah pindah ke Belawan, aku ketemu dia beberapa kali di depan Kedai Nasi Padang dekat sekolahku. Pastilah dia naik KA dari Sentang ke Belawan untuk menjemput sesuap nasi. Ternyata Surip masih seperti dulu. Dia masih mengenalku dan senyum selalu.

Kalau tak salah, penjaga stasiun KA itu namanya Pak Siregar. Beliau punya anak perempuan. Sebut saja namanya Nina. Dia belum sekolah. Sepulang sekolah aku sering bermain ke rumahnya. Rumahnya bersatu dengan stasiun KA. Kami main karcis-karcisan yang kami punguti di peron stasiun. Sore hari aku pulang dengan bapak. Memang bapak selalu jalan kaki lewat stasiun itu kalau pulang-pergi ke kantornya.

Sering juga dia datang bermain ke rumah. Kami duduk-duduk di jendela kamarku. Jendelanya menghadap stasiun. Kalau KA melintas kami teriak-teriak kegirangan,  seperti sedang berusaha melawan gemuruhnya suara KA. Saat KA membunyikan pluitnya, kami pun menirukan suaranya. Sekeras-kerasnya. Belasan gerbong yang melintas menutupi rumahnya dari pandangan kami membuat kami merasa seolah-olah rumahnya hilang. Segera setelah gerbong terakhir lewat, kami pun tepuk tangan. Ternyata rumahnya masih ada.

Sore hari bapaknya datang menjemputnya pulang. Dari belakang, pandanganku mengikuti mereka menyeberang jalan tanah. Di jalan setapak yang agak menanjak dia digendong bapaknya. Seperti biasanya, setibanya di atas rel KA, Nina memalingkan mukanya ke arahku dan melambaikan tangannya. Aku membalasnya. Kami saling memberi senyuman.

Saat itu, itulah senyuman terindah setelah senyum ibuku..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline