Lihat ke Halaman Asli

Selamat Tinggal Jogja Istimewa!

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sesuatu yang muskil di Indonesia, pembangunan yang masih berpegang teguh pada akar keselarasan antar manusia, keserasian alam dan menjujung tinggi asas budaya. Begitu juga saat ini dengan Yogyakarta, kota pendidikan sekaligus kota yang memiliki jargon istimewa. Se-istimewa apakah Jogja saat ini? Bagi saya keistimewaan tersebut barang tentu hanya di miliki oleh sejumlah pengembang, kontraktor atau investor. Memasuki kota Jogja saat ini, anda akan di sambut oleh tingginya tower crane atau pemancang pondasi. Tower crane dan alat sejenisnya, menunjukan jika Jogja sudah tidak konsisten seperti sebuah baliho yang pernah saya baca di Jogja yang bertuliskan, ''local wisdom not only belong the past''. Kearifan lokal Jogja tampaknya sudah akan berganti dengan kepentingan produksi dan pemenuhuan hasrat manusia, yang memang sudah terkenal tak pernah puas.

Hukum ekonomi yang menyatakan, di mana demand akan mempengaruhi supply, hal tersebut juga jamak terjadi di Jogja. Ketika negera tercinta kita ini mulai tumbuh menjadi negara berkembang, di mana kesejahteraan semakin meningkat, semakin banyak anak-anak Indonesia mampu mengeyam pendidikan tinggi. Kemampuan finansial yang membantu banyak pemuda kita mengakses pendidikan tinggi juga semakin menuntut Jogja berbenah yang notabanenya adalah kota pendidikan. Banyaknya para pelajar yang memasuki Jogja, menjadi ladang bagi investor untuk berlomba membuat apartemen yang di peruntukan bagi mahasiswa kelas atas. Dalam 4 tahun belakangan, saya catat mungkin ada 3 hingga 6 apartemen baru di kota Jogja. Jadi jangan heran lagi jika 5 hingga 10 tahun lagi mungkin akan ada kasus portitusi seperti di apartemen-apartemen Jakarta akan terjadi juga di sini, di Joga Istimewa. Hal tersebut di mungkinkan karena banyak mahasiswa yang jauh dari pengawasan orang tua serta tuntutan gaya hidup, yang kadang di luar ambang batas rasional bagi seorang pelajar.

Di mana peran balai statistik di Jogja? Pernah kah mereka mendata jumlah mahasiswa baru di Jogja setiap tahunnya? Jika pernah dan mungkin jumlah mahasiswa terlalu banyak, kenapa tidak di coba untuk di kendalikan? Saya tidak bermaksud untuk mengisolasi Jogja bagi golongan-golongan tertentu saja. Namun jika terlalu banyak mahasiswa, yang celakanya tak semua memang niat kuliah, yang ada justru menjadi racun dan gula bagi investor dunia hiburan, hotel atau apartemen. Biarkan Jogja semakin istimewa, menjadi kawah candra dimuka bagi golongan intelektual penerus tampuk pembangunan bangsa. Jika tak terkendali jumlah mahasiwannya, atas dasar setiap universitas mencari keuntungan, kita sudah tidak dapat berharap Jogja akan menjadi kota pendidikan. Kota pendidikan yang seharusnya mampu menularkan semangat akademis dan moralitas yang tinggi.

Dalam sebuah buku yang pernah saya baca, ulasan dari Bapak B J Habibie mengenai pembangunan sebuah kota, ada kalimat menarik yang saya catat. ''Pembangunan tidak bisa terlepas dari tolak ukur budaya. Jika tata ruang sudah ada, tetapi karena permaninan bisnis dan keuntungan, tata ruangnya sudah berubah. Karena itu tata ruang kota harus mencerminkan budaya''. Sejauh mana Jogja mambangun berlandas budaya? Saya harap landasan budaya pembangunan di Jogja tak sekedar ornamen atau garnish pada setiap pembangunan hotel atau apartemen, yang menandakan bahwa hotel atau apartemen tersebut berada di Jogja. Landasan tolak ukur bagi saya barang tentu adalah pembangunan yang masih terus mengutakan aspek kemanusiaan dan alam. Tidak hanya membangun yang membuat interaksi warga tersekat beton karena tidak ada ruang publik. Tidak hanya membangun yang membuat banjir jalanan ketika musim penghujan tiba.

Pembangunan di Jogja, bagi saya cenderung juga telah membuat sensivitas kaum intelektual Jogja memudar. Tak menjadi tolak ukur, jauhnya Jogja dengan pusat pemangku kebijakan membuat mahasiswa Jogja lalai menjalankan fungsi sosialnya sebagai kaum intelektual. Sosok Gie, aktivis angkatan 66, yang menggangkat kegalauannya tentang memudarnya sensitivitas kaum intelektual pada masanya, mungkin juga terjadi di sisni, Jogja Istimewa. ''Mahasiswa, jika di atas sukanya menindas, kalo di ditindas sukanya merengek'', jargon yang selalu saya ingat dari Gie tentang memudarnya rasa kebangsaan mahasiswa pada eranya setelah mampu menumbangkan bapak Soekarno.

Jogja berpolemik, dengan sabda raja atau pertikaian Kraton. Apakah mahasiswa Jogja harus kehilangan sensitivitasnya? Konflik Kraton juga berarti adalah konflik kita bersama. Meskipun Kraton bersikap menyatu bukan berarti melebur, Kraton Yogyakarta tetap bagian kita. Tak peduli kita dari ujung jauh Meulaboh, Merauke, Pare-Pare atau Berau, selagi kita menuntut ilmu di Jogja sudah barang menjadi kewajiban kita untuk mengawal yang ada di sini. Jangan biarkan pemimpin yang ada semaunya dalam membangun, dalam bertikai dan dalam tawar menawar kekuasaan. Jogja istimewa bukan karena memiliki raja yang bergelar kawula ing tanah jawi (politik), senapati ing ngalaga (militer), syeikh abidin abdul rahmat (agama) yang membuat dia kebal akan proses hukum dan tuntutan. Jogja istimewa karena selama ini telah menjadi arena melahirkan banyak bapak atau ibu bangsa serta memang terkenal memiliki kearifan lokal yang tinggi. Jogja bagian Indonesia, boleh tak melebur bukan berarti tak seusai aturan. Beranikan diri kita untuk mencoba melawan dengan santun, tak perlu dengan membakar ban di tengah jalan. Tunjukan Jogja masih istimewa sebagi candra dimuka kaum intelektual. JANGAN BIARKAN JOGJA ISTIMEWA, HANYA ISTIMEWA BAGI SEGELINTIR GOLONGAN! #savejogja #jogaoradidol

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline