Sebelum penjelasan nya lebih jauh, disini kami akan menjelaskan apa itu persepsi terlebih dahulu. Persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu-individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan Indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan.
Lingkungan sosial, baik berupa organisasi masyarakat, organisasi profit, maupun lembaga pendidikan adalah suatu entitas populasi di mana setiap individu yang ada dan berinteraksi di dalamnya memiliki pengalaman dan sudut pandang yang berbeda dalam mengelola dan menafsirkan kesan indrawi mereka terhadap makna dan pesan dalam komunitas tersebut (Saud, 2016). Para ilmuwan dan peneliti dalam ilmu perilaku organisasi banyak berpendapat bahwa Sudut pandang dan penafsiran masing-masing individu yang berbeda-beda terhadap lingkungan sosialnya tersebut adalah sebuah proses yang menentukan arah perilaku yang disebut dengan persepsi (Saifuddin, 2018).
Persepsi yang terbentuk pada setiap anggota organisasi bisa jadi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang bahkan terkadang pemaknaanya bersifat kontradiktif dengan fenomena riil yang terjadi di lapangan. Pemilihan individu dalam bersikap, motif yang dibentuk berdasarkan pengalaman, unsur kepentingan untuk pencapaian tujuan, serta pengharapan akan hasil tertentu adalah faktor utama yang mempengaruhinya (Huczynski et al., 2013; Prasetyo & Sukatin, 2021). Selain itu, individu yang menjadi target persepsi dalam sebuah organisasi juga akan membentuk bingkai makna yang diterima oleh orang lain.
Misalkan, seorang guru yang aktif mengemukan pendapat dan ide dalam setiap rapat dan disertai pencapaian target setiap mendapat tugas akan dipersepsi sebagai guru yang memiliki kualifikasi dan kompetensi tinggi oleh teman-teman seprofesinya atau bahkan oleh kepala sekolah. Sehingga guru yang lain dalam sekolah tersebut terpersepsikan lebih tidak mampu atau tidak qualified, dan akhirnya akan menjadi landasan seorang kepala sekolah untuk mengambil keputusan atau menentukan kebijakan. Atau bahkan sebaliknya kebijakan kepala sekolah akan dipersepsi berbeda-beda oleh masing-masing guru yang mempengaruhi perilaku individu mereka dalam bersikap atau mematuhi keputusan tersebut (Leithwood et al., 2008).
Faktor lain yang memungkinkan terjadinya pengaruh terhadap terbentuknya persepsi adalah suasana dan situasi hubungan sosial dalam masyarakat, atau bisa jadi suasana kerja baik dalam organisasi profit ataupun lembaga Pendidikan (La Salle, 2018). Suasana yang nyaman, tetangga atau teman kerja yang baik, upah kerja yang tinggi, dan penghargaan terhadap prestasi tentunya akan membentuk sebuah persepsi bahwa lingkungan tersebut adalah tempat yang kondusif untuk tempat tinggal atau tempat yang cocok untuk bekerja.
Deskripsi umum mengenai apa itu persepsi dan bagaimana persepsi terbentuk, serta apa efek dari persepsi tertentu terhadap perilaku individu dalam sebuah organisasi menjadi gambaran yang menguatkan pendapat begitu pentingnya memahami pendekatan persepsi dalam perilaku organisasi. Sebab, persepsi mengenai realitas yang ada diindikasikan menjadi dasar bagi setiap individu untuk memilih perilaku tertentu (Khuwaja et al., 2020). Jadi pada prinsipnya, ketika beberapa individu sedang memandang sebuah benda yang sama kemungkinan perpsepsi mereka terhadap benda tersebut akan berbeda-beda.
Mengkorelasikan konsep pendekatan persepsi sebagai kemungkinan landasan teoretis perilaku organisasi dan pengambilan keputusan ke dalam konteks kehidupan sosial, khususnya dalam lembaga pendidikan Islam yang di Indonenesia diwakili oleh pondok pesantren akan menjadi suatu ketertarikan tersendiri. Mengingat, sejauh ini nilai, etika, dan budaya yang membentuk perilaku di pondok pesantren kemungkinan didasarkan pada persepsi santri terhadap kiai (Prasetyo, 2022; Salabi, 2021).
Apakah kiai berwibawa? atau kharismatik? visioner dan berbagai model kepemimpinan yang bisa dilekatkan akan sangat tergantung pada bagaimana seorang kiai membentuk persepsi tentang dirinya, atau bagaimana individu-individu santri mempersepsikannya. Sebaliknya, sebagai penentu kebijakan seorang kiai harus mampu mengkorelasikan persepsi yang dia tangkap dari para santrinya, atau dari situasi sosial, kinerja, proses pendidikan dan pembelajaran yang sedang berjalan di lembaga yang berada di bawah kepemimpinannya.
Sehingga setiap keputusan yang diambil, diharapkan akan diterima dengan baik dan dipatuhi oleh seluruh anggota di dalam pondok pesantren. Permasalahannya adalah, mampukah setiap kiai yang memimpin pondok pesantren memahami pentingnya pendekatan persepsi sebagai dasar pengambilan keputusan individu? Hal ini mengingat jarang sekali ditemukan seorang kiai yang mendalami ilmu perilaku organisasi. Sehingga dirasa cukup beralasan apabila para pemerhati dan peneliti manajemen pendidikan memperbanyak luaran penelitian berbasis terap ilmu perilaku organisasi, khususnya mengenai persepsi dan pengambilan keputusan individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H