Lihat ke Halaman Asli

Resensi Novel Baru Milik Nh. Dini 'Dari Ngalian Ke Sendowo'

Diperbarui: 9 Agustus 2015   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Resensi Ini Dimuat di Koran Solopos, 26 Juli 2015*

Resensi: ‘Perpindahan dan Perjalanan yang Berdasarkan Hati’
Judul Buku: “Dari Ngalian Ke Sendowo”
Penulis: Nh. Dini
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Mei 2015
Halaman: 268 halaman
ISBN: 978-602-03-1651-2
Peresensi: Arti Ahmad

Setelah menerbitkan ulang 6 bukunya di tahun 2014 yang bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke 78 tahun. Tahun ini Nh. Dini kembali dengan menerbitkan seri cerita kenangan terbarunya.
Seperti seri cerita kenangan yang lain, ‘Dari Ngalian ke Sendowo’ tetap menyuguhkan serangkaian perjalanan spiritual kehidupan seorang Nh. Dini. Dengan gaya penyampaian yang masih menarik seperti seri cerita kenangan pendahulunya, ‘Dari Ngalian ke Sendowo’ menceritakan perpindahan penulis dari Ngalian, Semarang ke Sendowo, Yogyakarta. Banyak hal yang disampaikan seorang Nh. Dini lewat buku terbarunya.

 

Masih menggunakan gaya bahasanya yang lembut ‘miyayeni’ tapi menyengat, Nh. Dini menceritakan serangkaian perjalanan kehidupannya di ambang usia 70 tahun. Perjalanan kehidupannya yang didasari oleh dorong-dorongan pemikiran yang gamblang, pilihan yang didasari dari hati diceritakan begitu bening di buku ini. Bahkan serangkaian pandangan penulis tentang sesuatu hal yang dia lihat, mampu diresapi dengan apik lewat tulisan yang sebisa dapat dikemas dalam kesederhanaan rangkaian kata, guna menggiring pembaca agar tidak jenuh dengan apa yang disuguhkan penulis dalam tiap jengkal cerita di lembaran-lembaran halaman buku setebal 268 halaman ini.

Misal kutipan tentang pandangan penulis terhadap pola pikir seseorang yang dia tangkap melalui asahan pikiran yang bersangkutan.

“Asahan bacaan dan pemikiran atau perenungan atau kotemplasi membuat orang semakin peka namun siaga, tanggap dalam menghadapi berbagai peristiwa. Orang itu juga bisa menjadi pengarang yang baik.” (Halaman 54).

Dari buku ini pula, bisa dilihat betapa jeli penulis dalam menceritakan kembali hal-hal yang pernah ia temui. Penggambaran tentang suatu tempat, keadaan lingkungan, bahkan orang-orang di sekitarnya mampu diceritakan kembali dengan tajam dan jernih. Tempat-tempat yang pernah dikunjunginya bertahun silam masih disuguhkan secara apik lewat beberapa bagian cerita lewat penggambaran yang gamblang. Contoh konkrit saat penulis berkunjung ke Tanah Melayu. Setiap tempat yang dikunjungi mampu diceritakan secara detail dengan gambaran yang mampu ditangkap pembaca. Bahkan asal-usul suatu nama tempat dituliskan penulis sebagai tambahan informasi juga dijelaskan secara terang.

“Pulau Penyengat Indrasakti lebih kecil dari pulau Bintan atau Pulau Batam. Menurut legenda, pulau tersebut merupakan pilihan tempat singgah para pelaut dan saudagar untuk mengambil air bersih. Jika ada yang melanggar suatu pantangan, orang itu akan langsung diserang sejumlah serangga penyengat. Konon dari situlah asal muasal nama Pulau Penyengat.” (halaman 54).

Buah pemikiran tentang Nh. Dini kepada sesuatu hal juga sangat ketara di beberapa bagian. Hal semacam keluhan dengan suatu keadaan, bahkan budaya atau kebiasaan tentang sesuatu yang tak sesuai dengan pola pikirnya dikeluarkan dengan cara yang cukup elegan tapi ‘menyentil’. Bukan sebatas tentang sifat dan perilaku seseorang yang ditemuinya, melainkan hal lebih rumit dibanding itu.

“Aku tidak dapat menahan diri mengutarakan pendapatku mengenai kegiatan terakhir itu. Dalam bidang sastra, di bagian dunia mana pun, secara tersebar orang tidak hanya menyajikan bacaan puisi. Semua kreasi sastra, termasuk novel dan cerita pendek, bahkan fragmen atau penggalan drama pun disuguhkan pada saat-saat pertemuan gelaran karya. Bahasa internasionalnya readings. Tapi di Indonesia, tidak pernah terjadi hal itu. Selalu deklamasi sajak, pembacaan puisi-lah yang menjadi ‘obsesi’ panitia penyelenggara kegiatan pertemuan-pertemuan kesenian. Entah ini disebabkan karena mereka kurang menaruh perhatian terhadap novel, cerita pendek dan drama, ataukah karena mereka picik, tidak mengetahui bahwa genre atau jenis-jenis ciptaan dalam sastra juga sangat dihargai di luar negeri.” (halaman 86).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline