Lihat ke Halaman Asli

Kesenian Lenong sebagai Tradisi Lisan dari Masyarakat Betawi

Diperbarui: 8 Januari 2024   22:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Budaya dan kesenian merupakan salah satu identitas dari suatu suku atau masayarakat dalam suatu daerah. Lenong, salah satu kesenian teater dan sandiwara yang berasal dari masyarakat betawi. Yang termasuk kedalam tradisi lisan yang diturunkan secara turun temurun dari beberapa generasi melalui lisan. Lenong bisa masuk kedalam tradisi lisan dikarenakan Lenong di dominasi oleh kelisanan yang dibangun oleh para aktor dalam bentuk dialog. Filosofi dari Lenong biasanya membawa pesan moral, yaitu membantu yang lemah. membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam Lenong adalah bahasa Melayu (atau sekarang bahasa Indonesia), dialek Betawi. Lenong juga diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrek. Lenong juga kerap membawakan tembang-tembang Betawi dan China seperti Jali-Jali, Cente Manis, Si Pat Mo atau Sam Yi Lok. Lebih lanjut lagi untuk mengetahui apa itu lenong kita harus melihat sejarah terbentuknya, jenis dari lenong, dan juga bentuk dari lenong itu sendiri.

Seni lenong diperkirakan sudah ada semenjak tahun 1920-an dan berkembang di akhir abad 19, dan ada beberapa versi yang menyebutkan terbentuknya kesenian ini. Ada versi yang mengatakan bahwa lenong dikembangkan oleh seseorang dari cina yang bernama Lian Ong. Lian Ong terinspirasi oleh teater Pekyu yang berasal dari Jawa Timur. Lian Ong bukan hanya terinspirasi dan mengikuti secara penuh teater Pekyu, tetapi juga menambah kan beberapa unsur seperti tarian dan pantun. Hingga pada akhirnya terkenal dengan nama sandiwara Lian Ong. Karena pelafalan dari nama Lian Ong tersebut pada akhirnya lama kelamaan berubah menjadi Lenong. Dalam versi lain mengatakan bahwa lenong terbentuk dari pedagang yang melakukan obrolan ringan di pasar pada tahun 1920-an dan akhirnya membentuk sebuah kelompok. Lalu, mereka menambahkan unsur lain seperti bunyi-bunyian menggunakan alat yang ada di dapur sehingga menghasilkan suara yang berbunyi nang-neng-nong. Oleh karena bunyi tersebut dan candaan antar pedagang, orang betawi menyebutnya dengan lenong.

Pada mulanya seni lenong mengikuti gaya komedi stambul atau seni teater sandiwara keliling. Biasanya pertujukan lenong akan diadakan di lapangan terbuka dan ada beberapa orang keliling meminta sumbangan sukarela sebelum pertunjukan dimulai. Hingga pada akhirnya seni lenong digunakan sebagai hiburan dalam acara-acara penting seperti hajatan atau dalam rangka memperingati hari-hari besar tertentu.

Lenong sendiri secara umum terbagi menjadi dua genre atau aliran utama dalam seni pertunjukannya. Yaitu Lenong Denes dan Lenong Preman. Lenong Denes atau Lenong Dines, muncul terlebih dahulu sebelum Lenong Preman. Tetapi Lenong Denes kurang digemari oleh masyarakat Betawi, dikarenakan ceritanya yang mungkin kurang dekat dengan kehidupan masayarakat betawi sehari-hari. Lenong Denes membawakan cerita-cerita tentang kerajaan dan busana yang digunakan oleh para pemain juga gemerlapan. Seperti raja, bangsawan, pangeran, putri, dll. Dikarenakan cerita dan bajunya yang terkesan memiliki kedudukan tinggi dan juga berpangkat maka melekat lah nama ”Denes” (Dinas). Lenong Denes juga dimaknai sebagai pertunjukan teatrikal yang berisi cerita tentang dinamika pemerintahan kolonial pada masa itu. Cerita seringkali datang dari sisi perlawanan rakyat terjajah namun dengan gaya bahasa yang halus. Lenong Denes dikatakan berwawasan kelas atas, dan pertunjukan panggung cenderung eksklusif karena dipentaskan untuk kalangan pemerintahan. Lenong Denes menggunakan bahasa melayu tinggi seperti tuanku, adinda, beliau, daulat tuanku, syahadan, hamba, dll. Hal ini menyebabkan para pemain tidak leluasa dalam melucu atau membuat humor. Maka cara agar membuatnya lucu biasanya akan ada Syahadan (Pembantu) yang menggunakan bahasa betawi. Adegan perkelahiannya pun tidak menampilkan silat, tetapi tinju, gulat dan main anggar, dan di dramatisir dengan diiringi bunyi tambur dalam adegan perkelahianya. Lakon atau cerita yang dibawakan pada lenong denes umumnya bersumer pada cerita dari melayu seperti hikayat Indra Bangsawan dan Hikayat Syah Mardan, namun ada juga cerita lain diluar dari cerita-cerita melayu yang umumnya diambil dari karya Shakespeare seperti Hamlet, King Lear, Othello, dan sebagainya. Dan kostum dan propertinya di sesuaikan dengan cerita.

Sedangkan pada Lenong Preman atau Lenong Jago dalam perkembangannya lebih populer dibandingkan dengan Lenong Denes. Mungkin karena kisah yang dibawakan lebih kepada pembelaan terhadap kaum yang lebih lemah dan juga kritik dan isi dalam cerita yang lekat akan kehidupan masyarakat Betawi sehari-hari. Itulah yang menjadikan Lenong Preman lebih populer dibandingkan Lenong Denes. Lakon dan cerita yang dibawakan biasanya merupakan cerita jagoan atau jawara silat Betawi seperti; Si Pitung, Jampang Jago Betawi, Mirah Dari Marunda, Si Gobang, Pendekar Sambuk Wasiat, Sabeni Jago Tenabang, dll. Tetapi ada juga cerita sehari-hari lainnya seperti; cerita tentang tuan tanah, drama rumah tangga, dan lainnya yang memiliki cerita cukup dekat dengan masyarakat. Kostum yang digunakan juga pakaian sehari hari serta menggunakan bahasa betawi, sehingga menyebabkan keakraban antar para pemain dan penonton. Sering kali para pemain juga melakukan hubungan interaktif dan spotan dengan para penonton begitu pula sebaliknya. Dialog pada lakon Lenong Preman juga bersifat polos dan spontan. Sehingga kadang menimbulkan kesan yang kasar, terlalu spontan, dan vulgar. Persebaran dari Lenong Preman sendiri mencakup wilayah Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Tangerang.

Lenong Sempat mengalami penurunan dan hampir hilang pada tahun 1960-an. Namun setelah  itu pada tahun 1970 pemerintah mulai melakukan rekacipta tradisi Betawi salah satunya Lenong. Sejak saat itu Lenong mulai eksis kembali di publik dan saat ini pun telah mengalami modernisasi pada beberapa ceritanya sehingga tidak akan tertinggal oleh budaya budaya baru dan juga ditinggalkan. Beberapa seniman betawi pun masih melestarikannya hingga saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline