Senin (13/11) siang saya berkunjung ke gedung Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) di Jl Salemba, Jakarta Pusat. Setelah urusan selesai di lantai 5, saya diajak turing ke beberapa lantai di gedung itu. Salah satu yang paling berkesan bagi saya adalah Museum LAI di lantai 2. Ini museum aneka jenis Alkitab mulai dari sejarah hingga Alkitab yang sudah diterjemahkan dalam beberapa daerah di Indonesia.
Saya dibawa oleh Pdt.Anwar Tjen, pakar biblika yang tahu betul bukan hanya teks tapi juga sejumlah artefak-artefak yang replikanya ada di museum itu.
"Ya tidak semua memang replika itu ada di sini, tapi paling tidak beberapa replikanya dapat menuntun kita untuk lebih membayangkan dan kemudian memahami ketika membaca kisah-kisah dalam Alkitab. Contohnya kuk ini," katanya sambil menunjukan replika kuk.
Mengutip Wikipedia, Kuk atau Yoke ( dalam bahasa Inggris) adalah palang kayu dengan jepitan vertikal yang memisahkan kedua binatang penarik sehingga bersama-sama dapat menarik beban berat. Dalam Alkitab, kuk dipakai untuk menggambarkan sebuah kesukaran hidup sebuah bangsa atau ketaatan paksa. Injil Matius 11 ayat 29-30, menyebut : "Pikullah Kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan."
Maka saya mengamati kuk itu selama beberapa menit, sambil pikiran saya menerawang. Berat memang kuk itu jika diletakan di leher, tapi skrip dalam Injil Matius melegakan.
Saya lanjut menelusuri museum itu. Dan melihat replika 2 loh batu berisi 10 perintah yang dipegang Musa. Mirip tapi dengan di zaman sekarang tapi ujungnya setengah lingkaran dengan tulisan bahasa Ibrani. Tentu saja menarik melihat replika itu. Saat berhenti sejenak di 2 loh batu itu. Sambil membaca keterangan yang tertulis di dalamnya.
Yang tak kalah serunya ketika melihat replika mahkota duri yang dikenakan di kepala Kristus saat disalib dan cambuk dengan ujungnya terdapat bola-bola kecil berduri yang digunakan untuk mensesah. Ngeri membayangkan. Saya juga berhenti beberapa saat di replika ini sambil membaca keterangan yang tertera.
Setelah puas melihat-lihat sejumlah replika, saya juga melihat Alkitab yang diterjemahkan dari bahasa asli, ke Inggris, ke Melayu hingga ke bahasa Indonesia. Proses penterjemahan inilah yang digeluti LAI sejak lembaga ini berdiri tahun 1954 sesuai aktanya meski lembaga ini sudah diterima sebagai lembaga Persekutuan Lembaga-lembaga Alkitab Sedunia (United Bible Societies) tahun 1952.
Pdt.Anwar Tjen yang telah melayani selama lebih dari 30 tahun di lembaga itu juga bercerita bahwa dulu alat penterjemahan masih mengunakan mesin tik dan kertas-kertas per kalimat untuk diketik. Saya membayangkan proses ini sangat memakan waktu dan sangat berhati-hati sehingga terjemahannya tidak salah. Mesin tik dan beberapa kertas per kalimat masih dipajang baik di museum itu sehingga pengunjung bisa membayangkan proses penterjemahan yang dilakukan.