Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak

Diperbarui: 23 Oktober 2015   11:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak akhir-akhir ini menjadi perhatian publik. Kasus terakhir yang cukup menjadi sorotan adalah kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang anak perempuan berinisial PNF yang berumur 9 tahun. PNF bukan hanya diperkosa namun juga dibunuh oleh pelaku yang berinisial A dengan sadis. Pelaku diduga kuat menginjak tubuh korban agar korban bisa dimasukkan ke dalam kardus air mineral. Tindakan sadis lainnya yang ditemukan polisi adalah pelaku membunuh korban dengan cara mencekiknya. Dari hasil otopsi ditemukan sejumlah fakta dimana pada leher korban ditemukan luka jeratan, lalu ada kerusakan di alat kelamin dan anus korban. Perbuatan yang dilakukan pelaku terhadap korban PNF merupakan bentuk kekerasan seksual yakni tindak pidana perkosaan yang disertai dengan pembunuhan. Kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Sedangkan kekerasan seksual adalah perbuatan yang berhubungan dengan praktik seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan dan melanggar norma. Melihat kasus tersebut maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal perkosaan dan pembunuhan yakni Pasal 285 jo Pasal 340 KUHP, sedangkan aturan khususnya diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yakni Pasal 76D UU Nomor 35 tahun 2014 dengan perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sedangkan dalam RUU KUHP diatur dalam Pasal 491.

Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan yang pada dirinya melekat harkat, martabat dan hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Ia adalah penerus bangsa, ia adalah refleksi dari masa depan bangsa. Dalam konstitusi negara Indonesia, hak anak dijamin dan dilindungi. Negara wajib memberikan perlindungan bagi anak dan memberikan hak-hak anak termasuk memberikan hak atas rasa aman agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta dapat menikmati masa kanak-kanaknya secara wajar. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 merupakan kelompok anak yang memerlukan perlindungan khusus dan penanganan khusus. Dalam Pasal 15 Undang-Undang Perlindungan Anak juga disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual. Atas dasar inilah maka negara memiliki kewajiban luhur dalam memberikan perlindungan bagi generasi mudanya salah satunya dengan melindungi anak dari kekerasan baik itu kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual. 

Komnas Perlindungan Anak menyatakan saat ini Indonesia sedang dalam kondisi darurat kekerasan seksual pada anak. Parameternya adalah berdasarkan data lembaga perlindungan anak pada tahun 2010-2014 tercatat 21,6 juta kasus pelanggaran hak anak. Dari jumlah ini, 58 persen dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Sisanya berupa kekerasan fisik, penelantaran dan lainnya. Kedua, orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung anak malah menjadi predator, misalnya dilingkungan keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat. Kasus-kasus kekerasan seksual pada faktanya seperti fenomena gunung es dimana kasus yang terjadi jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan. Bisa jadi kasus yang ada justru lebih banyak daripada data yang ada dan terjadi dilingkungan terdekat kita sendiri.  

Besarnya jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual dapat menjadi sebuah bukti lalainya negara dalam memberikan perlindungan terhadap anak. kekerasan seksual merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, bukan saja merupakan perampasan atas jaminan rasa aman dan perlindungan namun akibat dari perbuatan tersebut seorang korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, bahkan kehilangan haknya untuk hidup. Penyebab dari meningkatnya jumlah kasus kekerasan pada anak setiap harinya dikarenakan adanya penurunan nilai spiritual di kalangan masyarakat. Penyebab lainnya yaitu adanya pengaruh teknologi yang menyebabkan meluasnya akses poronorgrafi dan situs porno anak. Anak-anak dapat dengan mudahnya mengakses hal-hal negative seperti kekerasan dan pornografi lewat media sosial atau internet. Disinilah diperlukan peran negara, orangtua dan masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap anak salah satunya dengan membatasi informasi negatif dan menyediakan informasi-informasi yang layak dikonsumsi oleh anak.

Perlindungan negara terhadap anak yang menjadi korban kekerasan harus diberikan baik secara preventif, kuratif, dan rehabilitative. Ketika kasus kekerasan seksual terjadi kita menaruh harapan tinggi pada sistem peradilan pidana dan aparat hukum serta lembaga perlindungan anak untuk dapat membantu menyelsaikan perkara dan dapat memulihkan korban agar kembali ke kondisi semula. Peran negara dalam memberikan perlindungan terhadap anak khususnya yang menjadi korban kekerasan seksual sangat besar. Dari mulai membentuk aturan dan kebijakan yang mengakomodir perlindungan terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual dimana anak dapat ditangani secara komprehensif dan pelaku dapat dihukum berat, adanya penyediaan pra-sarana dan sarana dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak serta adanya peningkatan kesadaran  kepada aparat hukum, masyarakat, komunitas yang juga harus memiliki perspektif perlindungan anak.

Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, kejahatan terhadap anak merupakan kejahatan kategori luar biasa. Karena itu perlu langkah-langkah luar biasa juga dalam penegakan hukum supaya ada efek jera terhadap pelaku. Proses hukum dan hukuman berat memang layak dikenakan kepada pelaku kekerasan terhadap anak. Keseriusan pihak Aparat Penegak Hukum dari kasus kekerasan seksual terhadap PNF terlihat dari adanya pembentukan Satgas Khusus untuk kasus ini di Polda Metro jaya. Dimana dalam waktu seminggu pihak kepolisian berhasil mengungkap kasus dan menemukan pelaku. Kesiapsiagaan pihak kepolisian dalam merespon kasus kekerasan seksual dan mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan seksual serta mengupayakan pemenuhan hak korban sangat diperlukan, agar kasus segera diselesaikan, pelaku dapat ditindak dan mencegah kasus menjadi berlarut-larut.

Keterbatasan payung hukum yang mengatur mengenai  kekerasan seksual dan masih ringannya jeratan hukum kepada pelaku adalah salah satu penyebab mengapa kasus kekerasan seksual masih banyak terjadi.  KUHP yang menjadi satu-satunya payung hukum untuk menjerat kasus seperti perkosaan dirasa masih belum cukup memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. pasalnya dalam praktiknya pelaku kekerasan seksual terhadap anak banyak yang dihukum ringan bahkan bebas dari tuntutan. dalam Pasal 285 disebutkan bahwa

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Dalam KUHP ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana perkosaan adalah paling lama 12 tahun. Sementara dalam Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 35 tahun 2014 disebutkan dalam Pasal  81 bahwa ancaman pidana bagi pelaku kekerasan seksual adalah paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling banyak 5 miliyar. Dalam undang-undang perlindungan anak ini terdapat kemajuan dengan adanya aturan mengenai pidana minimum khusus, dimana hakim harus memutus sekurang-kurangnya 5 tahun penjara bagi pelaku kekerasan seksual dan tidak boleh kurang dari itu. Hal ini menurut penulis merupakan suatu bentuk “pemberatan dalam pemidanaan” kepada pelaku kekerasan seksual, apalagi dengan adanya pidana denda hingga 5 miliyar rupiah.

Dalam RUU KUHP aturan mengenai pasal kesusilaan diperluas. Dalam Pasal 491 menyebutkan:

Dipidana karena  melakukan  tindak pidana perkosaan,  dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun:

  1. laki‑laki yang melakukan persetubuhan dengan perem­puan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
  2. laki‑laki yang melakukan persetubuhan dengan perem­puan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;
  3. laki‑laki yang melakukan persetubuhan dengan perem­puan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
  4. laki‑laki yang melakukan persetubuhan dengan perem­puan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki‑laki tersebut adalah suaminya yang sah;
  5. laki‑laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, dengan persetujuannya; atau
  6. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline