Lihat ke Halaman Asli

Beta dari Medan ke Maluku karena Cahaya dari Timur! Kita Indonesia!

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya bukan wanita Batak yang sedang jatuh cinta pada senyuman manis pria Ambon. Atau pernah menginjakkan kaki disana, dikota itu, kota yang terkenal dengan keindahan lautnya. Setahu saya, mereka suaranya kencang-kencang, tak jauh beda dengan orang Batak. Ini survey kecil-kecilan saya selama hampir 2 tahun didepan kamar kos saya persis banyak pria-pria Ambon ngekos. Berisiknya minta ampun, apalagi musim bola begini. Dini hari jika lembur, teriakan mereka lepas seakan tak peduli jam, atau mungkin mereka tak punya jam. Senangnya adalah mereka suka menyanyi, suaranya enak. Lumayanlah empuknya ditelinga. Oh ia, saya bukan ingin bercerita tentang pria Ambon dengan kulit hitam manis mereka. Saya merasa harus memulai sekarang. Sebuah Uraian, Beta Batak, Ose Maluku,,Lalu?? Hari ini saya dibuat terperangah dengan kisah nyata konflik antar agama di Maluku yang diangkat dalam sebuah film. Pernah melihatnya lewat berita, atau membacanya namun kali ini saya seperti terbawa pada kejadian itu. Hari ini, 19 Juni 2014, film ini serentak tayang di bioskop-bioskop seluruh Indonesia. Judulnya Cahaya dari Timur (Beta Maluku). Ini link wordpress Glenn Fredly yang menuliskan rentetan cerita dibalik pembuatan film inihttp://glennfredly.wordpress.com/2014/06/18/tinggikan/

“Filmnya hanya ada di Malang Town Square” dan itu membuat tiketnya muahal! :p

Ini film kedua yang saya bela-belain tonton di bioskop setelah “Sokola Rimba”-nya Butet Manurung. Saya sudah jauh-jauh hari menyusun rencana menonton film ini setelah membaca sinopsisnya yang membuat saya tertarik. Dari dulu saya orang yang sangat pesimis untuk menonton film karya anak negeri. Saya memandangnya sebelah mata, saya selalu berpikir bahwa film dalam negeri itu tidak pernah menarik. Uang yang mahal yang saya keluarkan (terutama dengan status mahasiswa) sayang sekali rasanya jika dikeluarkan untuk menonton film dalam negeri. Hari ini saya salah dengan pemikiran itu setelah menonton film ini. Lalu, wanita Batak ini melihat Indonesia yang lain, lain dari tempat saya berpijak. Tidak ada disana namun bisa merasakannya lewat film ini. Indonesia bukan Batak saja, bukan Medan saja, atau bukan Malang atau bahkan Jakarta saja. Hari ini saya merasa saya bukan Batak, saya Indonesia. Konflik mereka konflik saya juga. Lagi-lagi dengan satu alasan karena saya Indonesia. Film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko ini bagi saya sangat menguras emosi. 10 menit pertama menonton jujur saya sulit terbawa kedalam film ini. Banyak pertanyaan dikepala saya serasa meraba. Namun saya mencoba mengikuti alurnya, menemukan makna didalamnya menit per menit. Semakin lama semakin menemukan arahnya, sebabnya dan semakin terbawa pada kekaguman. Akting yang natural, jalan cerita yang mengharukan, lucu, emosi yang memuncak, suara yang lantang menggetarkan bahkan klimaks yang memuncak dan ending yang sangat mengharukan. Sani, menjadi sumber motivasi di film ini, kata-katanya seperti memiliki kekuatan berwat-wat yang membuat semangat saya ditinggikan. Dia pelatih yang menginspirasi! Akting Sani (Chicco Jericho), Salembe, Jago, Alvin dan semua pemain yang saya tidak tahu nama aslinya patut diacungi jempol. Saya tidak tahu apa mereka diberikan kursus akting atau bagaimana (terkhusus para pemain bolanya). Saya ikut menangis ketika Salembe menangis diruang kepala sekolah, ikut menangis ketika ibunya menangis karena dia hanya disiplin latihan bola namun tidak demikian pada sekolahnya. Ikut terharu ketika sebelum berangkat ke Jakarta, Alvin memilih tidur bersama Ibunya. Ah..saya jadi merindukan Ibu saya. Tertawa ngakak ketika ada yang kedapatan surat cintanya oleh Salembe dan dibacakan diseluruh kelas diatas meja guru. Ya ampun, tawa sebioskop menggelegar, aktingnya sangat terjaga. Yang tidak boleh terlupakan dari film yang diproduseri oleh Glen Fredly ini tidak hanya masalah konflik agama yang diangkat atau bola yang menyelamatkan pertikaian masyarakat disana. Mata juga dimanjakan dengan indahnya kota Ambon. Pantainya luar biasa indah, ikannya segar-segar. Biru dan halus pasirnya. Scene Sani yang sedang terapung di laut sangat menguras perhatianku. “Ada ya pria seganteng ini” pikir saya.:-) Airnya biru jernih, so cool..!Pemandangan malam hari tak kalah serunya. Mereka bakar ikan dipantai, ikan segar, ada air kelapa yang membuat rasanya melihat saja sudah sejuk. Indah sekali, kaya sekali alamnya. Di scene-scene akhir film ini, suasana semakin memuncak. Pertandingan lalu dimulai, perjuangan tim semakin alot. Musiknya tertata sangat apik. Adengan demi adegan berbaur. Kalah, hampir putus asa, emosi yang memuncak semakin tinggi benar-benar sangat menguras emosi. Menonton pertandingan bola difilm ini tak ubahnya seperti menonton piala dunia. Bersorak bersama ketika gol. Mengeluh bersama ketikan kebobolan gol oleh lawan. Tim Maluku tentu saja jadi tim yang didukung oleh penonton. Sesekali saya dengar pemuda atau pemudi meneriakkan kata dalam bahasa Ambon yang tidak saya pahami. Atau mengulang kata dalam film, membenarkan logatnya yang mana memang film ini berbahasa Ambon. Saya tergelak tertawa karena memang disediakan terjemahannya, kalau tidak saya memang tidak mengerti. “Memang ini kebanyakan yang menonton orang Ambon” pikir saya. Saya melihat lagi ke sekeliling, banyak juga yang berjilbab, 4 teman saya yang memang orang Ambon beragama Katolik. “Yang menonton ini juga datang dari berbeda latar belakang” pikir saya. Namun mereka sama saja ketika menonton film ini, tidak pandang mereka agama apa lalu berbaur, berteriak bersama. Puas rasanya menonton film ini, lebih dari dua jam sangat tidak terasa. Penonton bioskop bersorak kencang ketika kemenangan tim Maluku ini dielu-elukan. Tak ubahnya teriakan dalam film, serasa menyatu dengan mereka. Saya jadi ingin menonton film ini dua kali. Katong Samua Basudara! Beta bukan Maluku, Beta Indonesia! Pada akhirnya saya bangga, saya bangga dengan film ini. Besok-besok saya tidak harus berpikir seribu kali untuk menonton film Indonesia. Banyak yang bagus, film ini salah satunya. Saya bangga menjadi orang Indonesia. Seperti kata film ini. Bukan karena beta Tulehu, bukan karena beta Passo, bukan karena beta Muslim, atau bukan karena beta Kristen. Namun karena beta Maluku. Kalau saya boleh simpulkan dan kaitkan ke kondisi sekarang, bukan karena saya Batak, kamu Jawa, Maluku atau Makassar, atau bukan karena saya Kristen, kamu Hindu, Islam atau yang lain. Namun karena Saya Indonesia! Kita semua bersaudara!

Saya bersama nona-nona cantik dari Ambon :D. Posenya nilai berapa? :p

Saya diantara nona-nona cantik dari Ambon :D. Posenya nilai berapa? :p

Menutup tulisan ini, saya teringat janji utama republik ini. Janji itu adalah melindungi hak setiap warga Negara.Statement ini pernah dikoarkan oleh Bapak Anies Baswedan, penggagas “Indonesia Mengajar”. Hak mendapat pendidikan, kesehatan atau hidup yang layak dan hak-hak yang lainnya. Setiap warga Negara, tidak hanya hak orang yang dikota saja. Tidak agama mayoritas saja, lalu minoritas terlupakan. Beribadah dengan bebas juga menjadi hak setiap warga Negara, harus dilindungi. Negara ini bukan Negara agama, atau milik seseorang yang bisa mengatur seenaknya saja. Didalamnya ada pulau: 17.504, suku 1.340 dan bahasa: 546, namun tetap satu yaitu Indonesia. Pemilu yang tinggal menunggu hari, mohon rakyat jangan diintimidasi mengambil pilihan. Biarkan masing-masing calon presiden memaparkan visi-misinya, berkampanye dan berorasi. Karena dengan begitu rakyat bisa mengenal. Tidak perlu saling menjelekkan. Rakyat juga memiliki hati nurani. Tahu bagaimana memilih dan siapa yang harus dipilih. Rakyat kecil, pemilik partai, jutawan, politikus, menteri, atau presiden sekalipun, haknya sama saja. Siapapun bebas menentukan pilihan. Sudah saatnya janji itu benar-benar dipenuhi oleh Negara ini, melindungi hak setiap warga Negara. Semangat saya sebagai wanita Batak, eh salah, wanita Indonesia ditinggikan setelah menyaksikan film ini. Film ini menjadi salah satu jawaban atas kondisi bangsa ini saat ini. Apapun pilihan anda kita semua bersaudara. Saya Indonesia! Anda Indonesia! Lalu sebut kita "Indonesia"! Kita bersaudara, bukan? Salam damai..:-) Oh ia, lupa..kalau ada waktu sempatkanlah menonton film apik ini! TINGGIKAN..!!! RAMAIKANN..!!!

“Tinggikan Salam damai! Kita Indonesia..:-)

Catatan damai untuk Indonesia, Mahasiswi yang sedang menuntut ilmu di Malang. Bukan dari Ambon tapi Medan. Cinta Indonesia




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline