Lihat ke Halaman Asli

Arta Elisabeth

Pembaca, Penulis dan Penghayat Sastra

Pemuda Inspiratif dari Mollo

Diperbarui: 8 November 2018   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepat seminggu lalu, Rabu (31/10/2018) aku menghela nafas lega karena bisa menapakkan kakiku yang kurus kering ke tanah Kapan, Mollo, Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Setelah sekian lama memendam rasa penasaran, sore itu aku berkesempatan untuk berkunjung langsung ke salah satu komunitas yang ada di desa ini, Lakoat Kujawas.

Beberapa waktu lalu, aku tertarik dengan komunitas anak muda yang peduli pada desanya ini dari seorang pemuda calon pendeta dari GMIT (Gereja Masehi Injili Timor) yang akrab disapa Aris. Aris sangat semangat bercerita tentang kisah keterlibatan seorang pemuda yang peduli dengan kondisi desa, kampung halaman dan bertekad untuk memajukannya. 

Sontak saja aku segera tertarik mendengar kisah seorang pemuda yang dituturkannya secara sekilas. Sangat jarang ada anak muda yang sudah sekolah setinggi tingginya, bahkan sampai menyebrang pulau, kemudian memutuskan untuk pulang kembali ke desanya demi mengembangkan desanya (luar biasa).

Secara kasat mata, pilihan ini tentu sangat sulit, apalagi jika dilihat dari kacamata kids zaman now yang serba instan dan penuh dengan berbagai kalkulasi keuntungan pribadi. Meskipun aku belum mengetahui secara pasti bentuk pemuda itu, aku langsung tertarik dengan yang dikerjakannya (noted).

Sebelum bercerita lebih lanjut, aku tiba-tiba teringat tentang cara berpikir seorang temanku yang kala itu yang memfokuskan segala sesuatu pada keuntungan diri.

Suatu sore di pendopo kampus, aku terjebak hujan bersama kedua orang temanku yang sudah selesai bimbingan skripsi. Singkat cerita, mereka mulai berbincang bincang tentang tujuan dan rencana masa depan. Mereka mulai asyik menceritakan bagaimana cara mendesain CV yang menarik agar diterima di perusahaan ternama dan memperoleh gaji diatas UMR. Oia, diantara keduanya juga ada yang sudah melayangkan CV ke beberapa instansi yang diminati. Aku menikmati pembicaraan seru kedua pemuda itu sambil berharap hujan segera reda. Namun sudah lebih dari 30 menit, hujan tak jua berhenti. Aku segera berkemas dan harus melanjutkan perjalanan untuk mengajar anak lesku karena sudah telat 30 menit.

"Mau kemana ta? Buru-buru amat, hujan juga masih deras, ga mungkin diterobos," tanya mereka sambil mencoba menghentikanku.

Secara singkat kujelaskan kepada mereka bahwa untuk mengisi waktu luang, aku mengajar les private seorang anak SD. Bagiku, mengajar les adalah suatu pelayanan dan sangat berguna untuk mengasah kemampuanku, kesabaranku, kemurnian hatiku, kepribadianku, dan juga melibatkanku untuk turut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa serta menambah uang saku (wahahaha seharusnya ikut melaksanakan ketertiban dunia).

Mereka kemudian penasaran dengan gaji yang kuterima (aku mulai risih). Kusebutkan saja beberapa nominal yang mendekati, tapi secara mengejutkan aku mendapat respon berbeda dari keduanya, respon yang sama sekali tak kuharapkan.

"Segitu doang ta? Ya ampun kok mau sih? Private lagi. Ilmu itu mahal, kok bisa semurah itu kau dibayar. Pelayanan mah pelayanan, tapi kalau segitu doang, itu mah suatu kebodohan," ketus salah satunya.

Mereka membukakan nominal yang jauh lebih tinggi, yang diterima teman-teman seprofesiku. Aku heran dengan protes mereka. Aku yang merasa terberkati dan merasa lebih hidup dengan yang kulakukan, namun mereka yang keberatan dan menganggap itu adalah suatu kesia siaan dan kebodohan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline