Lihat ke Halaman Asli

Arta Elisabeth

Pembaca, Penulis dan Penghayat Sastra

Tuhan, Beta Mau Dia

Diperbarui: 20 Agustus 2018   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja di Pantai Oesapa

Beta kagum dengan seorang pria yang beta temui beberapa waktu silam saat pertama kali menapakkan kaki di negeri karang ini. Entah kenapa kesalutan beta padanya semakin memberatkan langkah ini untuk meninggalkan pulau Timor yang luar biasa. Beta tak bisa membayangkan detik waktu yang luar biasa cepat berputar.

Awalnya ingin sekali beta segera berlalu kembali pulang ke pulau asal. Rasa rindu pada kampung halaman, ayah ibu dan saudara saudari beta selalu bergema memanggil pulang. Namun semakin dekat hari kepulangan, suara itu semakin terdengar sayup, lenyap, senyap.

Semua dikalahkan dengan teriakan untuk tetap tinggal. Semakin lama desisnya kian kuat berdenging hampir memecahkan gendang telinga. Tuhan tolong!

Beta tak tahu apa yang menyebabkan munculnya rasa uring-uringan hari ini. Berulang kali beta coba tuk tenang, namun tetap saja hasilnya nihil. Beta coba mengingat kala pertama menginjakkan kaki di negeri cendana ini. Beta pernah berjanji untuk tidak meletakkan hati ini pada siapapun di tempat asing. Namun, masih saja tak mampu beta definisikan apa yang sedang beta alami.

Semakin dekat tanggalnya, hati beta semakin gusar tak karuan. Waktu, berdamailah walau hanya sejenak, pinta beta memohon. Beta masih tak habis pikir, sosoknya selalu saja muncul di langit-langit kamar meskipun sudah beta  halau pergi. Masak iya di zaman yang serba instan ini masih ada orang yang sangat peduli dengan sesamanya. Ditambah lagi perjuangannya dengan keringat sendiri untuk menempuh pendidikan di tingkat perguruan tinggi.

Setahu beta, kids zaman now jika ingin menempuh pendidikan tinggi akan sangat bergantung dengan kemampuan ekonomi orangtuanya. Jika orangtua mampu menyekolahkan pasti akan sekolah setinggi langit, tapi kalau tidak,  ya tentu saja berhenti sampai disini.

Namun nyong yang beta kagumi ini sangat berbeda. Ia rela bekerja banting tulang untuk memperjuangkan cita-citanya dengan menempuh pendidikan. Tak hanya itu, nyong juga berjuang untuk bertahan hidup di kota perantauan ini dengan usahanya sendiri.

Meskipun beta tahu bebannya sangat berat, tapi hampir tak pernah tersirat diwajahnya keletihan dan garis frustasi. Tentu ini yang menyebabkannya sosoknya berubah menjadi pil ekstasi yang mengundang candu bagi beta. Benarkah? Mungkin ya, beta candu membayangkan garis wajahnya yang lugu.

Beta masih ingat, kalau ia masuk kuliah di pagi hari, ia akan bekerja paruh waktu di siang hari. Menggarap kebun, mengerjakan apapun yang dibutuhkan di rumah seorang pedagang salome termasyur di kota ini. Meskipun gajinya tak seberapa, ia tetap bersyukur. Terkadang ia curhat, jika di kosannya tidak ada lauk, ia akan tetap makan nasi dengan garam atau di campur teh manis untuk sekedar mengganjal perut.

"Kalau sond ada lauk, toh be masih bisa makan deng garam na, atau teh manis tu dituangkan sa, su ada rasa manis toh. Bayangkan sa ayam goreng atau ikan bakar ju bae. " ujarnya berkisah.

Dulu memang beta pernah mendengar ceritra kuno ini kala orangtua beta mulai menuturkan kisahnya. Taukah apa yang terbersit di benak beta kala itu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline