Setiap orang memiliki cara untuk mengungkapkan cinta. Orang mengungkapkannya dengan bahasa-bahasa metafora, dengan kata-kata puitis, kadang-kadang terkesan bombastis. Di lain hal, orang bercakap-cakap tentang cinta segitiga, cinta bertepuk sebelah tangan, bucin, cinta pertama, cinta satu malam, cinta monyet, cinta buta, dan sebagainya. Tak salah lagi, cinta memang bagian dari hidup kita.
Kehidupan manusia itu kompleks. Cinta juga kadang-kadang rumit, berbelit-belit, dan kadang susah untuk dipahami. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa prahara cinta selalu menjadi bagian dari diskusi sehari-hari. Akan tetapi, pernahkah orang bertanya tentang makna terdalam dari cinta? Apa arti mencintai? Kenapa harus mencintai?
Alasan menggunakan frasa "Jatuh cinta"
Akhir-akhir ini kami seringkali berbincang-bincang tentang frasa "jatuh cinta". Kami tidak sedang membahas tentang bagaimana harus mencintai. Kami hendak mencari jawaban mengapa orang menggunakan frasa "jatuh cinta" dan kenapa tidak menggunakan kata kerja mencintai.
Perhatikan ketika mendengar orang berbicara, "saya sedang jatuh cinta". Atau kita melihat tulisan seperti ini, "jatuh cinta pada pandangan pertama". Yang kami diskusikan adalah kenapa di depan kata cinta itu, ada kata jatuh. Seolah-olah cinta itu jatuh. Kita mungkin membela dengan berkata, jangan menafsirkan kalimat secara harfiah. Tetapi, bukankah setiap kata itu memiliki arti?
Barangkali kita juga mendengar orang mengucapkan kalimat ini, "dia sedang jatuh hati." Seolah-olah hati kita terjatuh, padahal organ manusia tidak pernah jatuh kecuali ada alasan medis. Pertanyaan kami adalah, kenapa orang tidak mengatakan kalimat ini, "saya sedang mencintai" tetapi orang lebih tertarik dengan kalimat "saya sedang jatuh cinta".
Diskusi receh kami barangkali aneh dan mungkin terkesan mengada-ada. Ya, begitulah kami. Percakapan santai yang sepintas tak berfaedah tapi bila ditelaah lebih dalam sebenarnya ada makna yang tersembunyi. Yang tersembunyi itulah yang perlu digali. Tidak membutuhkan tenaga yang menguras banyak energi tetapi cukup dengan situasi hening yang ditemani secangkir kopi.
Saya pun tergerak untuk merefleksikan lebih jauh tentang makna kata jatuh ini. Selama ini mungkin kita kerap kali menggunakannya hingga lupa untuk memikirkannya. Entahlah kapan kita menggunakannya, mungkin sudah lupa. Untuk orang yang memiliki mantan gebetan tak terhitung, mungkin dia sudah lupa berapa kali ia menggunakan dua kata ini. Tetapi, untuk mereka yang gebetannya bisa dihitung selama ia menghuni semesta, dia mungkin bisa menebak berapa kali ia menggunakannya. Ya, walaupun tidak tepat. Yang membaca tulisan ini semoga berada diantara dua ekstrem ini. Orang bilang berlebihan itu menghanyutkan dan kekurangan itu meruntuhkan. Benar dan salahnya tergantung bagaimana kita menangkap artinya.
Aristoteles dan Dua Ekstrem Mencintai
Aristoteles? Saya berharap kita tidak merasa ini rumit setelah melihat ada nama beliau. Tenang saja. Ini ringan. Dipastikan kita mudah membacanya karena memang tulisan ini tak seberapa. Hanyalah sepercik isi hati yang barangkali memiliki arti.
Sang pemikir Yunani kuno ini sudah mengantisipasi lebih awal tentang dua tegangan di atas. Beliau berbicara tentang keutamaan sebagai jalan tengah. Tentunya maksud pemikirannya bukan berarti keutamaan itu sebagai sikap setengah-setengah. Maksud konsep keutamaan sebagai jalan tengah adalah sebuah tindakan itu menjadi baik ketika orang menghindari dua ekstrem. Dua ekstrim itu adalah tindakan yang terlalu kurang dan tindakan yang berlebih-lebihan. Kita mungkin biasa menyebutnya balance.