Lihat ke Halaman Asli

Arsya putra Julina

Mahasiswa Universitas Gadjah mada

Perjanjian Kawin yang Dibuat pada Saat Perkawinan Berjalan

Diperbarui: 4 Juni 2024   19:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada kaidahnya perkawinan merupakan ikatan yang sakral karena didalam ikatan perkawinan tersebut tidak hanya terdapat ikatan lahir, akan tetapi ikatan rohani yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dimaksud ialah bahwa perkawinan bukan hanya sekedar komunikasi lahiriah saja, namun lebih menjadikan keluarga yang bahagia berdasarkan tuhan yang maha esa. 

Maka dari itu negara sebagai penjamin segala kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya membuat suatu landasan konstitusi dalam menjaminkan koridor perkawinan dalam sistem hukum positif di Indonesia yaitu Undang – Undang Perkawinan. 

Pedoman pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa terdapat dua jenis harta benda dalam perkawinan yaitu harta bersama dan harta bawaan. 

Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bersama ini yang kita kenal dengan istilah harta gono-gini. Yang termasuk dalam harta gono-gini adalah semua harta yang terbentuk atau terkumpul sejak tanggal terjadinya perkawinan. 

Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. 

Artinya harta benda yang tidak termasuk harta gono-gini atau harta bersama adalah harta bawaan yang diperoleh sebelum menikah dan harta benda yang diperoleh oleh masing-masing pihak baik istri maupun suami sebelum menikah maupun selama pernikahan yang berupa hadiah atau warisan dari orang tua. 

Di negara Indonesia perjanjian perkawinan ini belum termasuk umum di kalangan masyarakat, Menurut ketentuan dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, seluruh kekayaan yang nantinya didapat dalam suatu ikatan perkawinan akan terjadi suatu percampuran harta atau harta bersama yang di mana percampuran harta tersebut mutlak harus terjadi dan tidak dapat ditiadakan oleh para pihak apabila tidak terdapat perjanjian yang mengaturnya. Sumber kekayaan dari percampuran harta di dalam suatu ikatan perkawinan meliputi seluruh perolehan harta benda selama masa perkawinan. 

Pemberlakuan harta bersama sebagai akibat hukum dilangsungkannya suatu perkawinan tidak jarang menimbulkan permasalahan maka Pasal 29 UU Perkawinan telah memberikan suatu jalan keluar yaitu melalui suatu Perjanjian Perkawinan. Mengenai Perjanjian Perkawinan, Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang telah menyebutkan bahwa: “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. 

Mengenai waktu pembuatan dari Perjanjian Perkawinan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, kata-kata “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” masih mengandung kekaburan norma. Kekaburan norma pada kata-kata tersebut dapat menimbulkan multi tafsir yang dapat diartikan berbeda oleh masyarakat. Sebagaimana kekaburan norma tersebut juga telah dipertegas dengan bunyi putusan dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 69/ PUU-XIII /2015.

Pada kaidahnya dalam undang-undag perkawinan tidak dapat mewadahi terkait perjanjian kawin, hal tersebut bahwasanya dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan hanya menyebutkan “pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. 

Hal tersebut memberikan pengertian bahwasanya perjanjian yang diakomodir undang-undang perkawinan hanya menyebutkan bahwa perjanjian kawin hanya dapat dilaksanakan sebelum perkawinan, hal tersebut memberikan polekmisasi bahwasnaya bagaimana ada suami istri yang sudah sah dan terikat perkawinan bertahun tahun memberlakukan perjanjian kawin mengenai harta benda yang dibawa atau pun yang telah menjadi harta bersama tersebut. Sedangkan dalam pasal 29 UUP bahwasanya perjanjian kawin hanya mengakomodir dan diakui secara absah apabila dilaksanakan sebelum perkawinan, hal tersebut yang membuat polemik antara unsur esensialia dalam perjanjian kawin tersebut tidak hanya terbatas atas kiat-kiat atau pedoman yang ditrujukan abhwa perjanjian kawin tersebut harus yang dikalkulasikan harus tersebut wajib dilakukan sebelum perkawinan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline