Lihat ke Halaman Asli

Budaya Malu di Toilet Terapung Sungai Musi

Diperbarui: 16 April 2017   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di tepi tepi sungai itu terdapat log log kayu ukuran rata rata empat depa orang dewasa berdiameter tidak sama. Yang penting log log itu membentuk rakit kecil. Yang bisa mengambang diatas air. Maka kadang log log itu ditumpuk tumpuk dengan maksud untuk membuat rakit itu tetap mengapung.

Di bagian ujung hilir dibuat ruang tertutup yang ada pintunya untuk (termenung, red) BeAbe (Buang Air Besar) disebut “Bong”. Secara keseluruhan Rakit yang ada batang nya ini disebut “Batang” bahasa Indonesia nya Toilet Terapung.  (Sungguh tidak tegah aku nulis nya, red)

Batang selalu disandarka di tepi Musi, dia setia mengikuti musim. Musim air Musi naik dia ikut naik begitu pula sebalik nya. Di ujung hilir dan hulu nya selalu diikat tambang, sehingga dia tidak hanyut atau nabrak batang batang milik tetangga sebelah kiri dan kanan nya.

Pada batang batang ini lah masyarakat disini banyak mengandal kan aktifitas, mencuci, mandi sandarkan perahu hingga urusan termenung ada biliknya. Sehingga Batang menjadi rumah kedua bagi masyarakat kampung ini.

Yang jadi unik,  satu batang dapat dipakai oleh empat hingga lima keluarga. Ya namun masih kadang tetap bergiliran dan terbangun sendiri budaya antri, pengertian dan sabar.  Kaum perempuan dan laki laki tetap masih menggunakan batang yang sama untuk beraktifitas mandi, cuci dan Kakus (MCK). Para kaum perempuan, dalam hal aktifitas mandi biasanya hanya memakai selembar kain (sewet,telsan) yang diikat hingga dada. Tidak memakai baju. Namun kaum perempuan tetap waspada dalam bergerak tidak boleh berlebih lebihan. Para ibu ibu mereka juga tetap kadang membimbing. “Payo Pik telsan kau jangan tinggi igek..!”.(Jangan terlalu tinggi angkat kain nya nak…!)

Kenapa bisa? Urusan mandi dan bilik termenung itukan sifat nya privasi, rahasia? Ya memang dari dulu seperti itu. Menurut cerita, satu kampung itu berasal dari nenek dan Gede (pangilan Kakek) yang sama jadi tidak pakai singkuh singkuhan (Rasa Malu). Siapa yang berani nakal atau “panjang mata” akan dapat hukuman adat keluarga dan hukum adat masyarakat bahkan hukum alam pun bisa mengutuk.

Misalnya yang terjadi, apabila ditemukan seorang laki laki atau masih lajang berani menatap para perempuan terlalu lama maka di sekitar matanya akan muncul benjolan kecil (Bintitan). Hukuman adat setelah melalui pengadilan keluarga atau pengadilan adat si pelaku akan dikucilkan secara social dan dicap stempel sebagai tukang Intip. Atau “Kalui”, nama ikan sungai yang selalu hadir berselweran di bawah bilik termenung, suka menyambar sesuatu yang jatuh dari atas dengan rakus nya. Hingga tidak menjadi rahasia dan bahkan menjadi buah bibir nama seseorang pelaku Panjang Mata itu diakhir namanya disematkan sebutan Kalui, misalnya Zainal Kalui, Asnawi Kalui.(.. red)

Seandainya saja proses Law Enforcement penegakan hukum Negeri ini kurang melahirkan efek jera. Sama sama menyasikan, sesangar regu regu tembak terlukis dengan sangat Wow di lapangan Death Pinalty (hukuman mati), belum sangat Wow lagi mengurungkan niat orang untuk berbuat melanggar hukum.

Kenapa tidak Hukuman Social, semisal menyematkan nama di KTP nya (Kartu Tanda Penduduk), mungkin ada muncul Budaya Malu. Ya soal nama belakang harus sesuai dengan kasus, misalnya Afflek Tukang Korupsi, Arnold Tukang Madat, Ronald Tukang Begal, Borries Tukang Suap dan maaf untuk nama nama yang belum disebutkan.red)

Semogah tulisan ini menjadi inspirasi penegakan Sosial Budaya Malu.

Bibir Musi, 13/4/2017

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline