Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Sepucuk Surat untuk Umi Setyowati

Diperbarui: 12 Oktober 2015   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dear Umi Setyowati

Kupermula surat balasanku ini dengan lisan Allah; Bismillahir Rohmani Rohim.

Muatan suratmu telah kusasari, perihal seorang lelaki yang menujumu. Terhadapku; Cinta dan Matahari adalah kembaran ajaib. Cahaya matahari dan sinaran cinta, keduanya membunting kebenaran. Cinta dan Matahari adalah rupa ketetapan. Yang menaruh matahari itu adalah Tuhan, yang menaruh rasa cinta itu, jugalah Tuhan. Tergolong pulalah lelaki yang diberi cinta, didarikan Tuhan. Selanjutnya cinta lelaki itu hendak diberikan kepadamu. 

Lalu engkau memahkotakanku bak seorang penasehat untuk perkara-perkara cinta. Tersanjunglah aku! Sesungguhnya lagi; tiadalah tepat-tepatnya kudisebut bernasehat. Bahasa terbaiknya untuk persoalan ini adalah ingat-mengingatkan. Di situ hadirlah kata 'saling'. Ya, saling ingat-mengingatkan. Serupa sang fajar terorbit di timur, bersapa kepada manusia dan seluruh makhluk; perlambang manusia segera beranjak dan bergerak. Berikutnya, matahari hendak pamit dengan membenamkan diri di ufuk barat. Itu juga sebagai peringatan bahwa segeralah para manusia dan makhluk untuk mengaso.

Seperti juga lampu merah, yang tiada pernah bernasehat kepadamu. Ia hanya mengingatkanmu! Berhenti atau melaju, adalah pilihanmu juga. Di sini, cinta dan lampu merah, bersentuhan dengan gas dan rem.

Tinggalah aku ingatkan lagi, jangan sampai engkau sangsi, menyangka amra padahal kedondong. Ataukah sebaliknya, bersangka tembaga sepasti emas.

* * *

Sebenar-benarnya lagi, tiadalah terlalu penting untuk membalas suratmu. Lantaran, engkau telah aksarakan pilihanmu, di belantara cinta lelaki itu. Dan, engkau memaksakan tegas bahwa engkau memilih mencintai Tuhan. Itu pilihan agung, musabab mencintai Tuhan, tiada pernah menuai sesal, pun takkan meluka-luka. Tetapi, pahamkah engkau bila mencintai Tuhan adalah perkara tersulit di lingkup manusia? Tetapi lagi, saat engkau mencintai manusia, sesungguhnya Tuhan sedang iri, sebab engkau membagi cinta dengan yang lain! Itu hemat bahasaku, sahaja tuturanku. Bila salah, 'kan kupinta pengampunan kepadaNYA.

Kemudian, kukabarkan padamu jikalau manusia kerap terseok karena kita bicara soal manusia, bukan membincang soal cinta. Kurang benarnya sebab kita bicara pada manusia. Padahal manusia itu diperlakukan sama derajatnya oleh cinta. Dari manusia berlumpur nista, sesampai manusia bertahta mulia, seluruh nama cinta menuju celah-celahnya. Bisa lahir dari siapa saja!

Dengan perumpamaan lain, cinta itu gandaan dari bunga. Cinta dan bunga, mendatangi seluruh manusia. Cumalah tercipta perbedaan sekelumit, sebab cinta akrab dengan janjinya; yakni kata bahagia-perhatian-cemburu. Tetapi bunga tiada mengenal dengan cemburu. Bunga terbaca dari perangainya. Jikalah ia menyebut tabur bunga, maka itu pastilah soal kematian. Bilalah bunga bersenggol dengan dalil tangkai, seumpama setangkai anggrek akan diserahkan pada seseorang, maka itulah lambang-lambang kemesraan, tautan dua hati yang merumrum bahagia!

Kukira begitu!

Ditulis di Makassar
Tanggal dua belas, bulan ke sepuluh, tahun dua ribu lima belas

Tertanda

 

@m_armand




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline