Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Potensi Komodifikasi Budaya dalam Industri Makanan

Diperbarui: 20 Oktober 2024   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Buku "The Interpretation of Cultures", Clifford Geertz (1973) menjelaskan simbolisme budaya melalui konsep "thick description." Dia menguraikan bagaimana aksi individu yang tampaknya sederhana, seperti kedipan mata, potensial dihinggapi berbagai makna sesuai pada konteks budayanya. 

Kedipan mata bisa jadi kode tertentu pada perkumpulan kecil sampai kepada kode mafia narkoba internasional. Akan halnya penyiapan makanan di setiap kelompok etnik, tak sesederhana mengedipkan mata, tetapi dilakukan dengan pelbagai kerumitan untuk sebuah simbolisme budaya. Makanan bukan melulu soal gizi, tetapi di dalamnya mengandung nilai, etika, dan pemaknaan yang senantiasa ditafsir menurut lingkup internal pelaku budaya.

Makanan yang dimulai dari sajian keluarga, merangkak menjadi ritual untuk sebuah lambang-lambang budaya melalui teknik penyajian makanan. Makanan konsisten dengan standar bakunya, yang berbeda ketika mengolahnya dengan memberikan variasi-variasi terhadap makanan. 

Dampak budaya pengetahuan dan faktor empirik memunculkan keyakinan untuk meletakkan aksesoris pada makanan. Kemudian, saat individu ditanyakan apa itu makanan? Secara umum jawabannya adalah kebutuhan bertahan hidup, bahan energi untuk beraktivitas, atau karena faktor kebiasaan. Belum sampai pada respon bahwa makanan sebagai instrumen pergaulan dan lambang-lambang etnik. Lantas, peradaban kian maju dan makanan sebagai simbol etnik juga, diperjuangkan yang kerap justru meninggalkan unsur nutrisi dan menanggalkan hakikat nilai budayanya!

Pertarungan budaya

Dunia makanan secara alami memiliki struktural ala Claude Levi Strauss seperti beras, jagung, sagu, singkong, ubi jalar, sorgum dan kentang serta makanan dari sumber hewani dan nabati disebabkan oleh pemberian makna dan medan persepsi bahwa beras lebih baik daripada jagung dan seterusnya. 

Bahkan, seorang antropolog dan etnolog Claude Levi Strauss dalam bukunya: "The Raw and the Cooked" mengetengahkan struktur mitologi dalam makanan, dan sangat terang-benderang Levi Straus menuliskan bahwa makanan bukan semata kebutuhan fisiologi tetapi lebih jauh dari itu yakni mempertahankan simbolisme budaya, dialah yang memperkenalkan makanan sebagai simbolisme makanan agar penduduk bumi memahami secara holistik dalam memperlakukan makanan secara baik sebagai salah satu pusat budaya. 

Makna leksikalnya adalah tata cara dan tata kelola makanan merupakan tolok-ukur sebuah peradaban yang terorganisir. Tetapi, teori strukturalisme Levi Strauss diredam oleh faktor nilai di setiap etnik bahwa makanan pokok etnik merekalah yang terbaik oleh dorongan etnosentrisme dan telah berlaku generatif. Apakah ada yang salah dengan semua ini? Tentu tidak! Sebab, Franz Boas (1911) menegaskan bahwa budaya mengandung unsur relativitas dan menantang etnosentrisme dengan kalimat kuncinya; memahami budaya berdasarkan konteks pemilik budaya itu sendiri, termasuk kultur dalam memperlakukan makanan.

Kompetisi kuliner global

Kita telah dan sedang menyaksikan betapa meluasnya usaha-usaha kuliner dengan label bersandar pada akar budaya makan grup etnik, dieksploitasi dengan beragam cara untuk memperoleh keuntungan materi bagi pelaku bisnis kuliner dengan menggunakan jasa koki profesional. Hal ini dapat diamati lebih seksama bahwa pelaku bisnis menggunakan identitas budaya makan dari etnik tertentu tetapi tak memberikan royalti material dan nonmaterial kepada indigenous people (pemilik budaya), sehingga pemilik asli itu hanya menjadi penyaksi dan penonton akan berputarnya budaya makan mereka tanpa ada perlawanan bermakna. Yang terjadi adanya rasa senang sekaligus rasa cemas ketika sebuah produk kuliner modern menyebut asal etnik selaku ajang promosi budaya. 

Pemilik budaya itu, tak sadar bahwa budaya mereka sedang dalam proses marketing besar-besaran, padahal tahun 2007, PBB mendeklarasikan tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), instrumen internasional yang mengakui hak-hak khusus masyarakat adat, termasuk hak atas tanah, budaya, identitas, bahasa, pekerjaan, kesehatan, pendidikan, dan pengendalian atas kehidupan mereka sendiri. Disayangkan deklarasi ini tidak mengikat sehingga potensi menggerus kultur etnik setempat untuk kemudian potensi juga untuk dibelokkan makna historis atau komodifikasi budaya yang melekat pada pemangku adat dan pemilik budaya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline