Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Kita dan Polusi Udara

Diperbarui: 2 September 2023   19:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dengan sangat sengaja judul opini ini, penulis posisikan kata 'kita' sebelum kata 'polusi udara', lantaran nihil polusi udara bila pola hidup kita baik dan positif. Polusi udara kadang lebih tepat disebut polutan udara dengan kriteria tertentu, dan Indonesia di urutan kesembilan dengan polusi udara terburuk setelah Kirgistan, Qatar, Oman, Afghanistan, Mongolia, India, Pakistan dan Bangladesh (urutan pertama). Negeri ini hanya mengalahkan negara Bosnia Herzegovina untuk perkara yang satu ini (IQ Air, 2020).

Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang sekarang menjadi sorotan dunia, ditengarai kegiatan transportasi menjadi kontributor primer polusi udara di atmosfer, berikut sektor industri, pembangkit listrik, dan polusi debu. Transportasi yang dituju adalah angkutan darat, baik angkutan umum maupun pribadi seperti mobil dan motor (emisi bergerak), dimana kedua jenis kendaraan ini, penyebab polusi udara sebesar 75%. Berdasarkan informasi dari dinas perhubungan, kendaraan yang masuk dari Bodetabek ke Jakarta itu sekitar 997.000 per hari.

Sketsa etnografi akan polusi udara dalam kumpulan fenomena (nomena sosial biologis, nomena sosial budaya/sinkretis, dan nomena psikologi sosial), dimana pembunuh manusia nomor satu adalah traffic accident, disusul kematian sekitar tujuh juta orang di dunia oleh pengaruh kuat pencemaran udara. Lalu, diproduksinya hanyalah penyakit dan kesakitan bernama infeksi saluran pernafasan akut, ancaman paru-paru, dan juga kanker. Rentetan penyakit ini turut merogoh biaya, baik pribadi maupun asuransi kesehatan (jika enggan dinamai asuransi kesakitan).

Konfigurasi subkultur negeri ini juga kompleks yang bisa sebagai peluang, tantangan bahkan hambatan dalam hal manifesto budaya kesehatan (health anthropology), dan polusi udara adalah produk budaya serta proses sosial yang berlangsung abad demi abad, mengorbitkan peradaban demi peradaban. Antropologi kognitif, penulis yakini biang utama yang gayut dengan pencapaian-pencapaian mutu hidup. Pikiran bergerak penuh tenaga, menahkodai pemilik kognitif itu untuk mengotomatisasi tindakan dan perilaku menurut sistematika pikiran. Pada setiap zaman, penemuan, dan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi, selalu berbarengan ruang dialektika. Dua kutub rancang nilai (value) akan tingkah laku (mores) atau kebiasaan manusia (folkways) yang dibentuk oleh alam maupun non alam. Singkatnya: masih menyembul debatable!

Sekalipun peletak aliran antropologi kognitif, Ward H. Goodenough (1919) memandang bahwa kebudayaan bukanlah fenomena material belaka, namun lebih pada bagaimana cara pengaturan phainomenon (apa yang tampak) itu sendiri. Apa yang dinarasikan oleh tokoh linguistik ini, sebetulnya melalui bahasa, kita sangat sanggup menginterpretasi kemauan-kemauan penduduk bumi, dan bagaimana fungsi-fungsi bahasa itu selaku refleksi sifat-sifat manusia (anthropos), dan sangat mampu menciptakan atau mengubah sebuah kebudayaan suatu bangsa (ethnos). Siklusnya, dari ahli warisan budaya tak benda layaknya pengetahuan, interaksi sosial dan seterusnya, menjadikan kita sebagai ahli warisan budaya benda, selalu aktif dalam pusaran itu. Galibya dari ide dan gagasan memiliki benda bernama roda dua, roda tiga, roda empat sampai roda-roda berikutnya menjadikan wujud di depan kornea mata, dan selanjutnya atas nama mindset modalitas simbol gaya hidup sehingga berpotensi memperburuk roda-roda kehidupan dari segala titik, tanpa perlu berpikir alot untuk melakukan rekayasa jalan hidup berikutnya. Inilah risikonya!

Disempurnakannya lagi dari teknik produsen yang memanjakan-meninabobokan konsumen dengan sentuhan bahasa-bahasa psikologi advokatif, teramat gilang-gemilang membuai para pengguna kendaraan-kendaraan itu, menyasaki jalan-jalan raya hingga meraung-raung, saling selip, bahkan saban hari dijumpai bahasa sinis dan sarkas, verbal maupun non verbal oleh keegoisan masing-masing, dan didaulatlah bak budaya kekinian, sekaligus menyisakan bahwa nyaris setiap jalan raya di ibukota-ibukota di negeri ini, tak nyaman lagi untuk dilalui, minim unsur kesopanan berlalu-lintas, miskin perangai kelembutan dan papah etika di sana. Padahal, Indonesia sejatinya adalah rumpun bangsa yang termaktub dalam lirik lagu: "Nusantaraku" yang terkenal manis budi bahasa dan lemah lembut perangainya, mereka saling menghormati, saling menghargai hak asasi, mereka bernaung di bawah pusaka Garuda Pancasila, dan sang saka Merah Putih lambang Indonesia. Padahal (lagi) seluruh pengendara itu adalah saudara kita, namun kita acuh tak acuh, dan itulah hasil perbuatan kita, sejenis realitas di balik fakta.

Selanjutnya atas nama pertahanan hidup, setia meminta pertahanan diri orang per orang, benteng kehidupan harus kokoh, berdiri dan keras. Jika keadaan makin memburuk, sifat alamiah manusia untuk bertahan hidup akan mendorong menguatnya sikap egoisme. Herbert Spencer (1896), menyatakan bahwa untuk bertahan dalam kondisi yang berat atau kejam, manusia membutuhkan sikap egois untuk memungkinkannya bertahan hidup, dan sikap egois memungkinkan the survival of the fittest. Padahal bagi penganut optimisme non fatalistik memaklumatkan bahwa janganlah takut cawanmu tak terisi air,  jangan takut kakimu tak beralas lagi karena Tuhan ada di antara kita.

Bila seorang tokoh, pernah berseloroh bahwa jika ia memiliki triliunan dollar, maka ia akan melakukan restart agar bumi ini kembali seperti semula. Ini adalah ekspresi dan padangan putus harapannya akan bumi yang sedang diperalat tanpa tedeng aling-aling memaksa bumi dalam stres saat-saat ini. Namun, ungkapan itu juga kurang tepat, lantaran bila keinginan tokoh itu dipenuhi, maka sekonyong-konyong juga bumi dan manusia tanpa peradaban. Sisi lain, peradaban dan budaya, takdirnya adalah dinamis dan mencair di segala geografi.

Taruhlah, karakter kokoh manusia untuk melakukan social climbing demi status sosial, memiliki hal ikhwal kendaraan yang serba bagus dan mewah melebihi dari kebutuhan, lalu menjadi pemicu terjadinya polusi udara dengan emisi-emisi hasil pembakaran tak sempurna. Ini terlahir dari serangkaian yang menurut teori habitus Pierre Bourdieu (1930), yakni kapital sosial, ekonomi, budaya dan kapital simbolik pada manusia di planet ini, rebut-rebutan tangga sosial, ngebut-ngebutan demi hirarki aktualisasi diri (Maslow, 1970), dan menjadikannya budaya konsumtif yang telah, sedang, dan akan menyengsarakan kita. Kita memang telah melampaui budaya sebagai sistem kognitif (Goodenough), budaya sebagai sistem struktural (Levi-Strauss), dan budaya sebagai sistem simbolik (Geertz). Namun semua ini sedang kita tuai dan panen raya akan kesengsaraan fisik, derita psikis/defisiensi mental.

Polusi udara memanglah kreasi manusia, hasil daya cipta itu membekaskan luka pada bioekologi, ekosistem dan kesehatan masyarakat, ada semacam pencarian ekuilibrium alam dan lingkungan yang belum ketemu-ketemu. Sederhananya, kita telah menciptakan polusi udara atas nama budaya konsumtif, lalu memproduksi lagi industri kesakitan berhaluan kemiskinan. Kita memang telah lama sekali terjebak dalam palung material culture, artefak dan tingkah-tingkah kita, dan sekarang kita telah terlanjur dipapas dan diserobot polusi udara di belantara ruang waktu dalam sinkronik dan diakroniknya. Akhirnya, kita menikmati polusi budaya caruk-maruk dengan segala coreng-morengnya oleh ciptaan kita sendiri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline