Adalah dua narasumber: Arief Purnama dan Ozy V.Alandika saling bahu-membahu mengisahkan pengalaman selaku guru plus merespon pertanyaan partisipan webinar (Yunita Kristanti Nur, Yunita Goutama dan Aisyia Azzahara) sekaligus pemenang voucher belanja di gramedia. Aktifitas edukasi ini bertajuk: "Ketika Pengajar Menghadapi Gen-Z dan Alpha", dipandu dengan rileks-penuh makna oleh Iryanda Mardanus. Webinar ini dihelat tadi sore (Kamis, 16 Juni 2022) sedianya pukul 16:00 - 17:30 WIB, namun saya memastikan kegiatan ini hanya sampai pada pukul 17.00 WIB/18.00 WITA. Kompasianer yang tak muda lagi ini, mengamati acara 'Bincang-bincang Akademik" tadi mengalir alami dan layak ditonton sambil baca-baca iring-iringan chat di zoom. Ini pengaturan acara yang efisien musabab kedua nara sumber memiliki wilayah yang otonom untuk menuangkan esensi pengajaran di era bonus demografi yang menciptakan generasi kelahiran 1996-2012 yang disebut Gen-Z dan Alpha. Saya sendiri sebagai Kompasianer belum memiliki peta acara seperti apa desain-nya tetapi saya menikmatinya sekalipun saya juga sempat menulis chat : "Apa boleh bertanya langsung". Chat ini ditimpali dengan canda dari seorang Kompasinaer kawakan yang kerap menulis tentang cagar alam, artefak dan peninggalan-peninggalan nenek moyang kita yang masih bisa dijumpai di zaman ini, namanya Teguh Hariawan. Chatku itu juga hanya seraut spekulasi, jika pun host membacanya akan membuka peluang saya untuk bertanya yang sebetulnya saya ingin berdiskusi berbasis empirik. Lantaran, setiap guru di hadapanku adalah orang-orang baik, humanistik, visioner dalam kelas sekalipun selama pandemi kita 'dijauhkan' dari ruang kelas.
Sesungguh-sungguhnya setiap guru adalah Raja sekaligus Rakyat di ruang kelas. Ini pandanganku setelah melewati 28 tahun mengajar di ruang-ruang kelas minus 2 tahun oleh pandemi yang mendera Indonesia sejak 18 Maret 2020. Yang berbeda saat-saat se mainstream ini adalah hadirnya teknologi yang berlari kencang sebagai sebuah awal kebudayaan baru dalam proses belajar-mengajar. Tetapi saya senantiasa manasehati diriku sendiri bahwa teknologi apapun itu dan sehebat/secanggih apapun dia. Dia tak lebih dari sarana pendukung (enabling) dalam 'ritual' pengajaran. Bagaimana memformulasi etnografi budaya baru yang berdampingan dengan teknologi media beiringan dengan jejak-jejak ucapan guru, berkas-berkas yang bernama penguasaan teknologi media dalam perkara konten pembelajaran yang divisualkan yang meminta atensi ekstra yang dinamai skill. Lagi-lagi, serentetan 'peralatan' ini hanyalah budaya materi. Yang subtansi ialah siapakah seseorang yang sedang berdiri di hadapan murid-muridnya di ruang kelas besar atau kelas kecil itu? Dus, siapa-siapakah mereka yang duduk di kursi-kursi yang telah diatur sedemikian rupa untuk sebuah pembelajaran Sokratik. Ini kuncinya. Mengapa penulis menitipkan kata sakral Sokratik? Iya, gaya Sokratik memanglah gaya pembelajaran klasik (kalaupun tak mau disebut gaya purba). Pola Sokratik selalu memenangkan learning pattern dengan penciri: 1. Relasi emosional antara guru dan peserta didik begitu kokoh. 2. Keadaan lingkungan (conditioning) hampir-hampir merapati Suasana pembelajaran baik sifatnya benda-benda di sekitar ruang kelas, maupun sifatnya berbentuk aura pembelajaran, dan 3. Keterhubungan komunikasi massa dan komunikasi interpersonal, Chemistry-nya dapet".
Pertanyaan subtansi: apakah tujuan mulia seorang guru mengajar di kelas? Atau daring atau hybrid (karena zaman yang meminta, bukan pinta guru ataupun murid). Maka satu kalimat tanya ini berpotensi dijawab dengan 1001 opsi jawaban, semisal agar peserta didik pintar, berwawasan, cerdas, paham, tahu, melek, terarah, generasi penerus, merespon lapangan kerja berbasis kompetensi dan seabrek kata dan kalimah sakti lainnya. Padahal disumbu-sumbukan atau dibolak-balik, diutak-atik bagaimanapun, sesungguhnya tujuan pendidikan yang dikemas dalam jutaan ruang kelas di negeri ini, tepinya adalah Membuat Murid Menjadi Orang Baik.
Demikianlah cara berpikirku dan berkontemplasi didasarkan pada data empirik yang telah mendampingi murid-muridku yang datang dan pergi (alumni) selama hampir tiga dekade. Wah, sudah tua juga saya ya? Yaiyalah, usiaku saja sudah bisa dihitung yang memulai debut menulis per 8 Maret 2011 di Blog Kompasiana yang kian mentereng ini..He he he
Berikutnya, sebelum kuberada di ruang kelas, saya doakan murid-muridku agar ilmu yang hendak saya bagikan moga-moga lancar masuk dan menghinggapi sanubari mereka, sebab menurutku (lagi), ilmu pengetahuan memanglah area kognitif tetapi inti sarinya ilmu itu adalah cahaya (nur) yang lokasinya di bilik hati manusia termasuk murid-murid. Sekianlah apa yang sempat Kompasianer asal Makassar ini tuliskan kepada khalayak. Sebentar! Yang namanya guru selalu berdekatan dengan teks-teks, tulis-menulis, alat tulis-baca, guru menulis bak Raja tetapi ia adalah pendengar yang sabar-bijak-setia laksana Rakyat. Saudara-saudara guru boleh bertukar peran di sini. Kapan jadi Raja dan kapan waktunya jadi Rakyat di ruang pendidikan. Dan, ketahuilah bahwa saya belajar untuk memimpin tulisanku, pengajaranku bukan sebaliknya yaitu tulisan/buku yang mengaturku. Sedang perkara murid adalah dialektika kolaborasi antaraku dan antara mereka (murid). Lantaran, masa kiniku, masa depanku dan karierku selaku guru berada di pundak murid-muridku bukan pada menteri atau kepala dinas pendidikan serta kepala sekolah.
Makassar, 16 juni 2021
Armand-Kompasianer Makassar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H