Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Perihal Pelanggaran Dosen di Kelas

Diperbarui: 18 Desember 2018   07:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: https://poorvucenter.yale.edu/

Tahun 1994, penulis beranjak dari dunia mahasiswa, menuju profesi berdiri seorang diri di depan kelas. Ditatap-pandang dari puluhan sampai ratusan mahasiswa. Hadir pemusatan energi jasmani, otak, perasaan, performa dan psiko-motorik di sana. Dan, kegagalan maha besar bagi dosen ialah "Kegagalan Mengajar". Peristiwa semacam ini bagi pengajar profesional lebih parah, lebih perih dari "Kegagalan Cinta". Secara runtun, kegagalan mengajar itu memamerkan gejala-gejala perilaku alamiah mahasiswa.

Tanda-tanda alam itu berlambang: peserta kuliah nampak gelisah, posisi duduk yang berganti-ganti, meningkatnya jumlah mahasiswa acungkan tangan untuk izin ke toilet, ngantuk terselubung ataupun terang-terangan, sesering melempar padangan ke jendela, melakukan aktifitas yang tak signifikan dengan perkuliahan, menoleh ke kiri-kanan-belakang dan seterusnya. 

Sulit menemukan mahasiswa yang mampu bertahan -level konsentrasi stabil- dikuliahi selama 2 x 45 menit, sejajar dengan lama waktu dalam olahraga sepakbola. Bedanya sepakbola memiliki jeda alias turun minum sedang perkuliahan tak mengenal istirahat sejenak. Berjalan di menit pertama sampai injury time diawasi oleh wasit tanpa pluit dan bendera (CCTV), tanpa penonton, tanpa hore dan tanpa jersey. Kuliah dan mengajar itu. Keduanya gawean berat! Kusangat akui itu!

Karena mereka adalah anak-anak orang, dititip oleh orangtuanya supayalah menjadi lebih baik! Kerap kuinsyafi bahwa ilmu yang hendak kubagikan ini kepada mereka (di pagi, siang, sore, jelang petang) adalah semaian bibit, kelak ditanam oleh mahasiswa di luar sana, di pelbagai garis kehidupan, di beragam lini peradaban, di macam-macam lapisan masyarakat. 

Sepertinya ini amanah yang sungguh mulia sekaligus teramat berat dalam pikul, alot dalam takar, dan rumit dalam deret ukur. Pengajar amatir setia dengan prinsip: "Tugas dan kewajibanku mengajar, soal mahasiswa mengerti tak mengerti, itu wilayah mereka". Di sanalah beda jelasnya antara Mengajar dengan Mendidik. Terhadap pengajar profesional bermotto: "Takkan kuberanjak dari ruangan ini sampai engkau mengerti". Ini yang ideal atas nama sebuah pendidikan!

***
Tulisan edukasi ini memuat catatan-catatan pribadi penulis perihal kelemahan-kelemahan penulis dalam mengajar (menyajikan perkuliahan). Ada serentetan gundah saat menilai diri sendiri akan mahasiswa yang kurang berselera dalam menu mengajarku, tampilanku dan gerak-gerikku. Tanpa kusadari sekaligus kusadari kujumpai tujuh perkara yang tak seharusnya kulakukan, kusebutlah ia sebagai pelanggaran etika dalam perkuliahan:

Handphone

Ada ketat yang pernah kutitahkan kepada mahasiswa agar handphone itu minimal silent, maksimal OFF saat kuliah sedang ON. Aturan ini diskriminatif oleh sebab penulis seorang diri begitu leluasa menerima 'panggilan dan pesan'. Tak lama aturan ini, penulis timpakan kepada mahasiswa hingga dalam sebuah renungan senja, penulis bergumam: "Ini semua tak adil". Alasanku; karena handphone adalah instrumen komunikasi yang seluruh pemiliknya tanpa kecuali, sederajat dalam hal penggunaannya. 

Maka, di kesadaran baruku itulah, aturan itu termodifikasi atas nama perkuliahan dan kebutuhan tiap-tiap manusia akan komunikasi-informasi. Penulis membolehkan penggunaan handphone di kelas sekalipun mendapat respon negatif dari kawan sejawat. Alasannya penggunaan handphone dalam kelas mengganggu 'kekhusyuan' dalam perkuliahan. Tetapi penulis meyakini mahasiswa telah dewasa dalam menggunakan perngkat itu, mereka telah sangat mampu mengelaskan yang mana panggilan/pesan penting-urgent-emergency dan yang kurang penting.

Memunggungi Mahasiswa

Laptop dan layar pantul LCD adalah dua piranti, setia berhadap-hadapan di sepanjang perkuliahan. Telah menjadi adat dan adab bahwa pusat perhatian mahasiswa ada dua objek (dosen dan layar pantul), sedang dosen juga memiliki dua pusat perhatian (layar laptop dan mahasiswa). Penulis kerap 'membodohi' diri sendiri, menoleh ke layar pantul, pelan tapi pasti akhirnya memunggungi mahasiswa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline