BUTUH ritme istimewa dan ber-mati raga untuk menuliskan ini! Se-iya mungkin dalam tuangan hati di titik zero. Barangkali saja pembuka artikelku ini berarus lisensia puitika! Tiada kudustai itu, kawan. Saya yang dulunya; penulis urakan bahkan ugal-ugalan, kini pun masih merasa seperti itu, itu juga tiada kusangkali. Katakanlah ini taburan kecil akan sebuah diari penulis sepertiku di Kompasiana. Berdustalah saya jika menulis di sini cumalah sekadar kegemaran. Itu tak cukup bagiku! Dari hulu 8 Maret 2011 hingga kuterhanyut di sungai kontemplasi Kompasiana. Tiada perlu bingung, kawan! Ini hanya caraku untuk meng-komunikasi-kan batin dan isi otakku yang sedang bekerja untuk Anda, sahabat Kompasiana, disebutlah Kompasianer! 8 Maret 2011 itu, tanggal dan hari pertama era 'bayiku' di Blog Plural ini. Ya, saya tembus login di penanggalan itu!
Haru? Tentu! Kini, 8 Maret 2017. Saya boleh dikategorikan selaku Kompasianer gaek, walau saya jujur hendak mensugesti diri jikalau saya masihlah belia. Itu hukum psikologi umum di mana seseorang menyayangkan masa mudanya pergi, dan kerap-kerap meneteskan air mata sendu. Mengapa dulu itu sempat terisi perkara-perkara yang kurang baik, entah di lisan maupun di tulisan/komentar. Ini kontemplasi! Berusaha untuk tampil baik dalam menulis, bukanlah segalanya, bukan pula itu menjadi ending dalam pencarian hakikat hidup. Menulis itu 'iradat', semacam 'sunnah muaqqad' bagiku. Dengan menulislah, saya menjejaki diri, menelisik pribadi, dan auto correct terhadap gaya bertutur, pola pemaparan kata dan huruf serta seperangkat keharusan perilaku lainnya agar bisa disebut humanistik.
Anggaplah ini serupa 'pertobatan' akan kian dekatnya usia tua. Prestasi batiniah boleh jadi dapat ditilik dari sisi artikel secara kuantitatif, sisi lain ada yang menanti yakni meteran kualitatif. Keduanya kadang-kadang sulit untuk diperhadap-hadapkan. Sama baiknya! Maka saya dengan sedikit lantang mengujarkan; melawanlah hati nuraniku jika saya sebagai penulis tak bermimpi-mimpi untuk kelak menjadi penulis baik, ber-adat dan me-lembut. Sumber pernyataanku ini ialah dari batin. Insya Allah!
Bolehkah saya jujur jikalau saya belum berdiri tegak dalam menulis, saya butuh tangan dan kaki serta injakan dari penulis lain di sini. Saya tiada ragu mengatakan bahwa seluruh penulis di sini adalah dosenku, mentorku, guruku sekaligus kawan setakdir. Takdir baik, tentunya! Renungan adalah rupa eksotik bagiku, ia bermagnet di tiap-tiap jalan hati menuju lentera damai dan meneduhkan seluruh perangkat batin di sebuah pohon yang memang dapat merindangkan temperatur ruhaniah.
Hingga penulis kelahiran Polmas, Sulawesi Barat ini selalu merasa 'dungu'. Sayangnya, dungu itu diterangkan berulang-ulang, ia tetaplah dungu. Dungu di sini, saya lebarkan menjadi sifat positif, biarkan aku dalam kedunguan hingga saya takkan berhenti untuk mencari pintu keluar dari kedunguan itu. Serupa rasa sedih, kerap kupinta disedihkan agar kudekat dengan Tuhanku, bukan justru dekat dengan 'yang lain'. Ini salah satu kontemplasi yang mengorbitkan bait-bait puisiku: "Silsilah Kata Tak Terbeli".
Di mana jalan berikutnya? Soal ini mengetuk ringan di kalbuku, ya ke mana jalan berikutnya? Sebab, menulis di Kompasiana itu, multi tujuan. Saya sendiri sering dibingungkan apa tujuanku berada di sini hingga 8 Maret 2017 inikah? Kukira ini jawaban rekaanku; aku di sini merindukan damai, melipatgandakan sabar dan menyederhanakan bahagia.
Begitu puluhan bahkan ratusan penulis di sini sudah ditibakan bahagianya setelah mencermati artikel dan daya tarik komentarnya. Komentar itu bahasa mendadak, lukisan jiwa dan refleksi perasaan. Untuk sementara, kuyakini itu. Boleh diterima, boleh juga disanggah! Boleh di-yes-kan, boleh juga di-no-kan! Selanjutnya, tiga perkara yang telah menanti di depan: Saya yang tinggalkan Kompasiana atau Kompasiana yang tinggalkanku ataukah lagi 'saling meninggalkan'. Setelah Ini terjadi, kita akan ke mana? Karena Kompasiana bagian kecil dari dunia, sedang dunia adalah kenyataan, akhirat adalah impian. Jikalau akhirat menjadi kenyataan, maka dunia tinggallah cerita.
Berikutnya ada fakta 'menawan' di Kompasiana ini, antar penulis saling menyapa dengan bahasa khas. Bahasa khas ini seperti mengalirkan tetes-tetes embun yang menyejukkan rasa, menjaga arus kemanusiaan kita jikalau kita memang berbeda-beda dalam ciptaan tetapi memiliki perasaan yang tiada beda. Cuaca sejuk seperti ini, tiada alasan untuk tidak merawatnya baik-baik hingga kita saling larut dalam kerinduan. Selanjutnya, fakta 'menawan' lainnya adalah selisih paham. Kata selisih paham ini, telah saya haluskan untuk mewakili kata-kata seperti perdebatan, olok-olokan dan kata-kata serupanya. Hinggalah kumerenung sendiri, jikalau saya diolok-olok. Olokan pertama saya biarkan, olokan kedua saya diamkan, olokan ketiga sayalah yang diam. Untuk sementara (lagi), saya merasa 'aman dan nyaman' dengan trik ala Muhammad Armand ini.
Adakah di antara kita yang tak 'dikerumuni' lalai dalam 24 jam? Termasuklah dalam perkara-perkara menulis. Sesampai saya pernah menasehati diriku sendiri: "Jangan menulis jika kondisi jasmani dan rohani tidak fresh!" Pertanyaan dan sanggahan tergamit: "Jika yang ditunggu adalah masa prima jasmani dan rohani, kamu tidak akan menulis!". Yes, itu monolog sekaligus dialog dariku. Lalu, kuputa-putar bagaimanapun artikelku ini, toh tepi-tepinya sama, yakni dari buruk menjadi baik, dari baik menjadi lebih baik, dari lebih baik menjadi lebih indah, dan seterusnya.
Kontemplasi bagi setiap penulis pastilah beragam, lebih dalam lagi bahwa di setiap artikel yang tertayangkan juga dari hasil kontemplasi. Lalu tak merugilah bagi penulis untuk selalu menggandeng batinnya, entah sedang menulis ataukah setelah menulis di media ini. Kontemplasi lahir dari rahim mana saja, kontemplasi dapat ditemukan di jalan mana saja, kontemplasi sanggup dihidang dalam menu apa saja, dan kontemplasi dapat dikenali pada keadaan apa saja. Tetapi kontemplasi umumnya dijumpai di ruang-ruang hening dan mengheningkan hingga bersenyawa dalam keheningan.
Catatan: artikel ini secukupnya hanya berbagi, bukan perguruan! Salam Kompasiana