Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Jangan Sedih Jikalau Puisimu Kering Pembaca

Diperbarui: 3 Juli 2016   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Maxmanroe

Ruas-ruas alamiahnya cukup alot untuk dibantah bahwa goresan keyboard bergenre puisi itu 'kering pembaca'. Itu pulalah risiko penulis puisi! Puisi itu non-mainstream! Hanyalah segelintir puisi yang merengsek pada peristiwa kekinian. Tarulah tumbangnya orde baru yang dipuisikan oleh Taufik Ismail dengan judul: "Takut 66, Takut 98" dengan bait pemula: "Presiden Takut Pada Mahasiswa". Penulis sendiri merajut diri: "Tiada sedihku bila puisiku tak terbaca oleh orang lain, ku akan sedih bila tak mampu menulis puisi".

Penulis mengaliri diri dengan bahasa-bahasa yang tergamit dari perasaan-pikiran-sikapku hingga menurutku -secara pribadi- lagi bahwa puisi itu memiliki pesan-pesan kemanusiaan. Bisa saja menjadikan hidup orang lain lebih baik dalam pola tindaknya lewat bait-bait puisiku. Puisi-puisiku itu hanyalah refleksi keseharian yang penulis ikhtiarkan diramu dengan bahasa yang mudah dimengerti. Jua menulis puisi itu soal 'kedalaman jiwa' dan soal mendaun-daunkan jiwa menjadi rimbun-hidup-bermakna yang bisa ditelisik oleh siapapun orangnya.

Pernahnya seorang Kompasianer menyindir penulis di sebuah komentar! Ia sangat lantang mengatakan bahwa puisi itu kering pembaca. Yang ia katakan benarlah seluruhnya bila ditatakkan pada kuantifikasi pembaca dan visitor. Barangkali kita-kita beragam tujuan dalam menulis 'sesuatu' di Kompasiana ini. Penulis sendiri menyukai seluruhnya! Senang bila pembaca banyak, walau tak monoton seperti itu. Kadang penulis cuek dengan 'penjumlahan'. Malah penulis kerap 'anti-pembaca' dan menceburkan diri dalam mensamuderakan perasaan ataukah pemandangan yang kulihat di tiap pagi-siang-malam.

Boleh jadi penulis akan menyatakan bahwa ikhlasku akan 'kesedikitan' pembaca dengan 'kebanyakan' manfaat atas bait-bait inspiratif (versiku) yang kuletakkan pada puisi-puisiku itu. Sedang seorang sahabatku berkata, sekaligus mengeluh bahwa membuat puisi itu menguras emosi dan membuat kesusahan. Aslinya: Susah! Pendapat kawanku benar adanya bila dikaitkan dengan fakta lapangan bahwa banyak-banyak penulis/orang belum suka (bukan tak suka, red) menulis puisi atau membaca puisi. Pun malah ada kawan lebih ekstrim lagi bahwa membaca puisi itu job idiot, karena membaca imajinasi orang lain. Penulis tak membantah itu! Sama sekali, tidak!

Menghaluskan budi dan pekerti

Boleh jadi anggapanku ini jauh dari benar, tapi menurutku (lagi) bila anggapan menulis puisi berpotensi melembutkan hati, jua menghaluskan budi sekaligus pekerti sebab di tiap-tiap perbuatan itu terlahir dari 'alam hati'. Penulis puisi bisa saja sengsara dan menderita tetapi dengan mengeskploitasi perasaan se-optimalnya, maka penulis puisi suskses mengalirkan perasaannya secara positif di kalam-kalam puisinya. Penulis pernah menonton penulis puisi yang dibacakan oleh penulis puisi itu sendiri. Ia begitu murka dan marah dengan segenap wajah memerah. Ia bacakan puisinya laksana jembatan! Jembatan itu dijadikan titian perasaannya hingga aksi marah-marahnya nampak 'elegan dan indah'. 

Kukatakan saja bahwa ia gemilang dalam perbuatan marahnya dengan sangat menariknya. Sebuah kemarahan yang elok di alamat yang tepat. Harus diingat bahwa marah itu 'bahasa satu ialah bahasa luapan perasaan'. Jangan katakan bahwa perlambang marah hanyalah bahasa kekasaran, ketus, kata-kata yang robek, ataukah kalimat yang tak layak diucapkan. Marah memiliki aneka ekspresi dan begitu 'ekspres'. Pada diam juga marah, pada lipatan tangan kaku juga marah, pada mata melotot juga marah dan sebagainya.

Pandai-pandainya penulis dalam 'marah-marahnya' hingga marahnya tak kasar-mendentum tetapi begitu halusnya dengan hasil maksimal. Orang-orang pun mengatakannya bahwa ia begitu piawai menjaga suhu emosi negatifnya yang pelan-pelan mereda dengan sangat baiknya. Bukankah ini format dalam menghaluskan perbuatan yang 'dididik' oleh bait-baitnya sendiri via puisi? Hemmm..

Puisi Itu Tak Semata Perkara Kontemplasi (Armand)

Training kepekaan!

Setengah berdusta seseorang jikalau dalam menuliskan apa saja, tidak mendaulat kehadiran perasaan dan juga sensitifitas (sensi). Sensi itu netral! Biasnya bisa baik juga bisa jahat. Performa artikel seperti apapun itu, mula-mulanya dikomandoi dorongan perasaan, menjadilah motif dan juga bersambung kepada penalaran sebagai pekerjaan otak untuk merasionalkan apa saja yang berbau emosional. Ada semacam kolaborasi dari semua ini. Maka, kukatakan lagi bahwa sesiapa yang berminat atau penyuka puisi, Insya Allah ia akan terlatih kepekaannya dalam segala sesuatu. Ia begitu lekas menyadari akan keadaan sekeliling bahwa beberapa peristiwa batin (efek lingkungan sosial-fisikal) sangguplah dituliskan dalam pikirannya dan memahatnya baik-baik di perasaannya itu. Maka biarlah orang kian memberi evaluasi jiwa pada sang penulis puisi itu!

Unsur kepekaan adalah sumbu utama dalam pembelajaran puisi, sulit bagi seseorang untuk empati atau antipati pada suatu kejadian bila 'tak memiliki kepekaan'. Kita makhluk hidup, tak mengenal mati rasa. Tetapi banyak-banyak yang memiliki ketumpulan perasaan ataukah kebuntuan perasaan. Bagiku; salah satu cara menumbuhkan perasaan peka adalah menulis puisi atau sebatas memikirkan untuk menulis puisi! Puisi itu didorong oleh dua gambaran: 1) Gambaran akan perjalanan kisah dan 2) Gambaran peletakan kata-kata indah. Dua-duanya bisa dilakukan, salah satu darinyapun bisa dihidupkan oleh sang penulis puisi. 

Bagiku puisilah yang menjadi sentrum penenangan jiwa, sekalipun jiwa sedang meronta-berkecamuk-labil. Penulis puisi yang cerdas mental akan memolesnya sebagai untai kata yang memproduk karya susastra yang mengetuk hati pembaca walau hanya satu-dua pembacanya. Jelasnya berkesan bagi pembacanya oleh kesamaan perasaan dalam puisi itu. Maka (lagi): Janganlah sedih jikalau puisimu kerontang pembaca!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline