Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Jangan Sindir Pendidikan Nasional

Diperbarui: 4 Juli 2015   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14305501761564548838

Penulis ingin men-sugesti pembaca, untuk terbangun dari praktik-praktik penyudutan pendidikan nasional kita, di sana-sini. Bila Anda membiasakan diri untuk menilai guru-guru kurang becus dalam profesinya, maka penulis langsung tunjukkan bahwa ada guru yang masih baik, tak perlu jauh-jauh. Di sini, ada Wijaya Kusumah (Omjay) yang super aktif dalam kegiatan keguruan. Ada juga Bain Saptaman, seorang guru sederhana, idealis, bahagia mengayuh sepeda warisan kakaknya, pergi-pulang mengajar. Kedua guru ini telah adequat kusulap menjadi inspiratof via renungan-renungan bening. Tiada mudah menjadi guru serupa mereka!

 

[caption id="attachment_414400" align="aligncenter" width="300" caption="remaja.suaramerdeka.com"][/caption]

Bila diangkat-diangkat soal siswa dan bikini, barangkali Anda sedang menutup mata akan pakaian baik di sekolah-sekolah Katholik, ataukah sekolah yang tanpa aturan saklek, tetapi siswanya sopan-sopan dalam berbusana, bertutur dan berperlilaku. Mengapa penulis menuliskan seperti ini? Karena penulis wajib membuka mata atas determinator sisi positif pendidikan nasional. Berusaha melautkan pandangan bahwa begitu luas tamsil-tamsil pendidikan yang acap kita anggap sesuatu yang biasa, tak menarik perhatian dan tanpa apresiatif.

Kita bergidik saat menyaksikan murid-murid meniti di atas jembatan yang nyaris ambruk, dan memberitakannya ke tiap public space, itu tak salah, hanya kita tidak berimbang. Kita lupa memberitakan (atau tak heboh) bila berjumpa kisah anak tetangga. kelas 1 Sekolah Dasar. Tiap pagi, ia mandi sendiri, berbaju sendiri, merapikan buku-bukunya, pakai sepatu-kaos kaki sendiri tanpa ada keluhan sedikitpun kepada ayah-ibunya.  Berita-berita seperti ini amat kurang kita temui. Kenapa? Karena kita sendiri yang kurang termotivasi mengabarkan anak-anak baik, di zona terdekat, apatah lagi yang jauh. Sebaliknya, kisah pilu pendidikan, sejauh apapun itu, kita seksama mencermati-memeriksa-awas. Penulis tak paham, apakah ini sebuah simpti-empati, ataukah tepi-tepi motifnya adalah menyalahkan institusi, pemerintah ataukah apa?

Kitapun terjebak dalam parameter kesuksesan pendidikan dengan menunjuk penjumlahan! Banyak sarjana, master, doktor dikait-kaitkan dengan kuantifikasi pendidikan. Kita lupa bahwa gelar-gelar itu hanyalah 'tools', kita sangat alpa bahwa gelaran-gelaran doktor di rumah kita. Ayah yang tak tamat sekolah menengah, aktif mendidik, mendampingi, menyalurkan aspirasi, sabar akan keluhan anak-anaknya, ayah inilah sebenar-benar doktor. Bukankah pemberian gelar-gelar akademik, tujuan akhirnya adalah memperbaiki orang lain? Dan bukankah ayah tadi juga tujuan akhirnya adalah memperbaiki anak-anaknya? Jadi gelar berbeda, tujuan yang sama. Ya, sedikit keliru bila pendidikan ini dimutlakkan pada pencapaian-pencapaian gelar. Karena subtansi pendidikan adalah pada mainsteram kebermanfaatan dari orang ke orang lain!

Pendidikan masihlah sedang berlangsung, saat ini. Tak terblok oleh sekolah-sekolah formal belaka. sekolah hanya sebagai salah satu pemusatan orang-orang untuk dididik-bina. Lalu apa maksud artikel ini? Tiada lain bahwa tiap-tiap manusia adalah elemen pendidikan, tiada status untuk berharap orang banyak dalam kebaikan! Penulis tak pusing atas perubahan-perubahan kurikulum, penulis hanya pusing bila manusia tiada berubah ke arah lebih baik-cerdas-bermanfaat.

Tiada guna menyindir-nyindir pendidikan nasional, sebab hukum alamiah memanglah pendidikan bervisi untuk memintarkan orang yang kurang pintar, membaikkan orang-orang yang dianggap belum baik. Dan, bila semua orang sudah cerdas dan baik, apa gunanya diselenggarakan pendidikan nasional? Jadi kita memang harus super arif dalam menyandingkan fakta dengan niat pendidikan. Menyorotinya adalah kewajiban, memberi solusipun adalah hak. Inilah masalah kolektif kita! Bukan masalah itu hanya terjulur pada guru, menteri, diknas atau kepala sekolah. Perkara pendidikan adalah perkara kita semua, tanpa harus ada yang dikesampingkan. Itulah disebut nasionalisasi kebaikan, nasionalisasi pendidikan dan nasionalisasi problem bersama!

Selamat Hari Pendidikan Nasional

Salam Kompasiana Sore

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline