Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Menyikapi Gaya Komunikasi Mahasiswa Masa Kini

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13923675592115593039

[caption id="attachment_322568" align="aligncenter" width="300" caption="paseban.com"][/caption]

JUDUL yang terbersit di atas, diilhami dari sebuah ucapan kekecewaan -seorang dosen- atas gaya komunikasi mahasiswa(i) baik SMS, BBM atau lainnya. Dalam sebuah rapat -yang tak diagendakan- sempat dicuatkan behavior mahasiswa(i) dalam berinteraksi lewat japri alias handphone. Hingga beberapa TS (Teman Sejawat) mengganti nomor telepon genggamnya: "Pusingka dengan SMSnya mahasiswa. Patua-tuai". Penulis sangat termemori ucapan yang kerontang edukatif itu. Sedang yang lainnya, bersahutan dan mengamini sikap dosen tersebut. Mengganti nope, memblokir sms, menolak telpon yang tak ter-booking dalam phone-book.

***

Penulispun kerap 'dihadiahi' kiriman pesan -kurang etis- di jalur pribadiku ini. Berbekal sebuah kesepakatan, berjumpa untuk sebuah proses konsultasi skripsi. Pukul 15.00, deal. Kompasianer Makassar ini, on time, tepat waktu. Jam 16.05 WITA. Penulis konfirmasi mahasiswaku, sebab 'beliau' belum datang-datang juga. "Katanya jam tiga mau datang konsultasi". Demikian SMS kulayangkan padanya.

Balasan darinya: "Saya di tempat foto copy pak. Apa bapak tak bisa sabaran?". Penulis ngakak ringan atas SMS ini, walau SMS ini bukanlah candaan, pun bukan material untuk kutertawakan. Perkara ini bisa jadi kecil atau besar, tergantung amat kepada 'isi kepala' dan muatan perasaan sang dosen, yang nota bene lebih tinggi derajatnya ketimbang mahasiswanya, hemmmm ada hieraskis di sana.

***

Malahpun ada SMS mahasiswa serupa ini, ditunjukkan oleh kawanku di monitor handphonenya: "Mestinya ibu hadir di ujian skripsiku. Ibu kan dosen profesional. Tapi ibu tega tak menghadiri sidang saya hanya gara-gara urus anak". Kasus-kasus gaya bahasa semacam ini, jika saja kita menggunakan paradigma lama, maka ini bisa tergolong SMS kurang etis (kalau tak mau disebut kurang ajar, red).

Buah dari SMS 'kurang santun itu' yakni tersinggungnya Sang Ibu Dosen, dan alergi dengan mahasiswa itu. Ibu dosen kita itu membalas SMS dengan 'nasehat berat' alias makian. Dan mahasiswa itu memohon ampunan maaf atas cara berkomunikasinya. Begitu penuturan TS saya. "Tapi jangan bilang kurang ajar, karena yang membuatnya kurang ajar siapa? Lha kita yang mengajar mereka kok, karena profesi kita pengajar", candaku pada kawanku itu.

Mahasiswa dinamis, dosen statis

Transformasi komunikasi melejit, produk teknologi berlari kencang, hingga teramat sulit mengendalikan -lagi- kita sedang berkomunikasi dengan siapa? Hingga interpretasi komunikasi itu. Pun bisa beraneka, variatif. Fakta terlentang bahwa gaya SMS dapat mewakili kepribadian seseorang. Itu sangat relatif. Sebab, berapa banyak tenggeran kalimat di medsos yang sejuta bijak walau penengger kata-kata bijak itu, aslinya tak bijak alias bejat. Artinya, aksioma repesentasi personal itu terlenyapkan alias terbantahkan.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline