Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Sketsa Ahok di Balik Ucapannya

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14271757372083155705

Motto klasik sepertinya digenggam Ahok: "Tak takut karena benar". Nampaknya slogan ini pun sukses diadopsi oleh 'orang lain' yakni: "Berani karena salah!". Ya saksikan saja, gejala tindak kriminal, saat ini. Begitu berani merampas di ratusan pasang mata bahkan di depan aparat kepolisian. Terang-terangan dan tak takut diketahui serta dilihat orang banyak. Hemmm, memanglah ada dua jenis pencurian di zaman ini: 1. Mencuri di malam hari dan 2.Mencuri di siang hari. Tapi ada yang lebih hebat, mencuri di waktu keduanya, siang dan malam. Penulis tak menuding siapa-siapa, hanya saja para koruptor itu kapan ya mereka mencuri? Kok tidak jelas waktunya! Apa siang hari, malam hari atau bahkan dini hari.

Gubernur DKI Jakarta itu, teramat fenomenal, Ia sedang lakukan 'pemberontakan', jiwanya sedang berteriak, sampai dititeli sebagai pemimpin yang temperamental, sangar dan siap menerkam atas tindak-tanduk kejahatan di 'daerahnya'. Beliau akan dicatat tebal dalam sejarah Jakarta, Indonesia bahkan dunia. Maukah engaku kuberitahu para sahabat pembaca artikelku ini, bahwa suguhan-suguhan dan atraksi psikologik yang dipertontonkan oleh Ahok, sesungguhnyalah telah mewakili perasaan kita. Bedanya, Ahok sangat mampu mengucapkannya, tanpa rekayasa, dan tanpa ketakutan sedikit pun.

Ahok sedang murka kepada congkak-biadabnya pencoleng uang rakyat, uang negara dan uang 'kakek-nenek kita'. Ahok bertarung bak Drogba, penyerang mematikan asal Pantai Gading. Ibarat buldozer, Ahok gigih sambil gigit bibir bawahnya untuk membongkar 'tanah-tanah' dan belukar korupsi di zona teritorialnya. Hadir geram di sana, ada 'luka' di sana atas perangai wakil-wakil rakyat di ibu kota. Rupanya Ahok mencium gelagat bahwa cara-cara halus tiada efektif lagi dalam mengubah semua kebiasaan buruk ini, ia memilih force to force. Teknik ini dibenarkan dalam psikologi. Risiko sangat tinggi memang, nyawa Ahok pun sepertinya tiada guna dipertahankan bila rakyat dihina-hina, ditelanjangi, dibodohi dengan beragam siasat licik para pecundang demi mercy, mercedes, villa dan harta-harta bertujuh-turunan. Ini 'tengkulak' moderen, pendusta kelas kakap, dan pesulap level dunia.

[caption id="attachment_405026" align="aligncenter" width="300" caption="www.2lucu.com"][/caption]

Tuturan Ahok, simetris dengan reflektor kejiwaannya. Dibanjiri pro-kontra. Beliau blak-blakan, tak piawai berdrama dan bersandiwara. Ahok bukanlah seorang politikus, beliau petarung. Hingga Syafi'i Ma'rif menjulukinya Ahok, Si Pemberani demi membela uang rakyat. Begitulah kira-kira tafsirannya. Ini redaksi orisinil Buya Syafi'i: “Saya ikuti sepak terjang Ahok ini meskipun belum kenal secara pribadi, dia sosok pemimpin petarung yang mungkin sudah putus urat takutnya. Urusan membela duit rakyat dia tak kepalang tanggung pasang badan meski harus dikeroyok partai-partai di DPRD". Ucapan Buya ini, telah membelukar di media sosial.

Sedang komunitas yang berkecimpung dalam ormas keagamaan, menyudutkan Ahok dengan hias-hias kalimat seperti ini: "Ucapan Ahok tidak sesuai dengan rambu-rambu agama". Dan pagi ini, Abdullah Toha, seorang pengamat politik, lambungkan artikelnya tentang Ahok, berjudul: "Cahaya Basuki", di KOMPAS (24 Maret 2015). Indah nian pembuka artikel itu: "Di ujung lorong panjang dan gelap yang bernama Ibu Kota, tampak secercah cahaya yang menjanjikan. Cahaya itu boleh saja dinamai cahaya basuki, yakni cahaya kesejahteraan, keselamatan, ataupun kebahagiaan". Pembuka yang nyaman, dan ditutup dengan kalimat pengharapan nan heroik: "Basuki Tjahaja Purnama, kita semua mempertaruhkan hari depan Jakarta di tanganmu. Jangan kau biarkan cahaya basuki menjadi redup!". Abdillah Toha, melompatkan energinya, membuang segala hal, sehubungan dengan 'umpan-umpan pendek' warga (sebagian, red) terhadap gesture dan artikulasi seorang gubernur bernama Ahok itu.

Itu di KOMPAS, disahuti OPINI di Harian FAJAR, Makassar, pagi ini (24 Maret 2015). Irwani Pane, nama penulis itu, kandidat doktor bidang Public Speaking. Sebuah 'kolaborasi' Koran Nasional Vs Koran Regional. Irwani memersoalkan tuturan Ahok yang belum mencerminkan adat-istiadat 'ketimuran'. Sambil membaca kedua artikel dahsyat itu, penulis nyeletuk tentang kesopanan. Ahok disebut tak sopan oleh sekalangan orang, sementara sekalangan kaum jetset juga, begitu sopannya dalam menggelapkan uang, teramat sopan dalam membubuhkan tanda tangan proyek negara untuk saku pribadi.

Seperti itulah sketsa Ahok di mataku, langka pemimpin seperti beliau. Terlepas Anda setuju atau tak setuju. Nampak-nampaknya, kita memang butuh seorang pemimpin berwatak Ahok. Kenapa? Karena sikonnya memang menghendaki demikian, hukum alam barangkali. Penulis teringat akan polemik sebuah Piala Dunia, di kesebalasan Brasil, Romario penyerang hebat, tiada duanya kala itu. Tapi tidak diikutsertakan dalam skuad Brasil, justru Ronaldolah yang dipasang sebagai penyerang oleh pelatih Brasil, saat itu. Padahal Ronaldo masihlah muda waktu itu.

Di penghujung artikelku ini, penulis kutipkan sebuah kisah. Seekor macan nan ganas, melahap setiap manusia yang melintas di daerah kekuasaannya. Puluhan manusia telah dimakannya mentah-mentah, hanya satu manusia tergolong selamat, karena macan itu cuma mengigit mulut manusia beruntung itu, tubuh manusia itu masihlah utuh. Kawan macan garang itu bertanya: "Kamu kok hanya memakan mulut orang itu?". Lalu dia menjawab: "Karena orang itu, hati, tangannya, kakinya, paha, dada, kepala, dan segala gerakan tubuhnya. Berani membela orang kampung yang miskin dan dimiskinkan".

Entah apa maksud kisah ini, penulis hanya membayangkan jika macan itu memakan seorang manusia, semuanya dimakan kecuali yang tersisa hanyalah mulutnya saja. Barangkali orang yang dimakan ini, mulutnya saja yang pandai bicara, berkhotbah dan berceramah tetapi otaknya, hatinya, tangan dan kakinya tidak sejalan dengan perkataan-perkataan baiknya. Rasa-rasanya, banyak orang serupa ini, di kampungku. Entahlah di kampung Anda!

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline