Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Kisah Mahasiswa Urus KRS

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1391238732703845910

ADYATMA, itu nama mahasiswaku. Ia layangkan SMS padaku, pengen jumpa denganku, untuk urus KRS. Persuaanpun disepakati, ketemunya di warung kopi -yang lagi trending di Makassar, Sulawesi Selatan- demi urusan yang maha penting itu. Mengapa KRS (Kartu Rencana Studi) begitu esensi? Karena di sanalah sumbu rancangan masa depan mahasiswa per setengah tahunnya dalam perhelatan perkuliahan.

[caption id="attachment_319638" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi: www.unhas.co.id"][/caption]

Pra pertemuan, saya kirim SMS anak didikku itu: "Anda punya waktu dua jam untuk konsultasi KRS?". Ia dengan sigap me-reply: "Kenapa lama begitu Pak? Toh bapak hanya akan tanda tangan dan bicara seperlunya". Saya tak menanggapi pertanyaannya itu. Malam, selepas sholat isya. Ia pun tiba di warkop. "Bapak sering ke sini ya? Maksud saya di warkop?". Pertanyaan rada-rada aneh sebetulnya. Sebab, warkop itu public space. "Iya", ucapku

Apa dan bagaimana?

Adyatma, menyodorkan KRS-nya dengan sembilan matakuliah tertawarkan dari 'Pusat KRS Online' Universitas Hasanuddin. "Apa ini sudah fiks?". Tanyaku dibalas dengan senyuman. Lumrah juga potret gesture mahasiswa serupa ini, jika kutanya, dijawab dengan smiling. Terlalu sulit kutangkap akan senyumannya kecuali perlambang keramahan dan happy bertemu dengan Kompasianer Makassar yang juga Konsultan Akademiknya (Populer disebut PA: Penasehat Akademik).

"KRS memang hanya soal tanda tangan", deklarku. "Perihal apa saja yang Anda ketahui dengan rencana studi ini?", tanyaku lagi. "Jumlah matakuliah, foto, IPK, NIM, jadwal dan tempat kuliah", jawabnya enteng. Dan kutepuk ringan bahunya, saya bercuap-cuap panjang.

Adyatma, KRS itu sakral. Ini memang hanyalah sebuah KARTU, tapi ini kartu ajaib yang bisa membuatmu tertawa di akhir semester atau malah menitikkan air mata. Menangis karena beberapa matakuliahmu berjatuhan saat Anda melihat rapor atau Kartu Hasil Studi. Mengapa bisa begitu? Karena Anda hanya memandang KRS itu sebagai persyaratan administratid-akademik, hanya soal tanda tangan penasehat akademik, ketua jurusan dan wakil dekan.

Mahasiswaku, nampaknya mulai tertarik dengan ulasanku. Karena saya penasehat akademik, saya wajib poisisikan diriku sebagai orang yang benar-benar memberi nasehat kepada anak ini, bukan sebagai Kompasianer koplak yang suka komen tanpa baca artikel Pakde Kartono. Hahaha. Dan saya lanjutkan:

Adyatma, Anda wajib mengenal dengan sebaik-baiknya, dosen-dosen pengampuh matakuliah di KRS ini, baca seksama profilnya, tanyakan kepada mahasiswa yang pernah memrogram matakuliahnya, ini soal strategi, soal taktik dalam rancang bangun matakuliah. Bukan asal berencana begitu saja. Apa gak lucu jika Anda berencana akan ke suatu desa, Anda tak mengenal desa itu, seperti apa penduduknya, kayak apa kepala desanya. Setidaknya, Anda kan harus tahu dengan memburu informasi. Begitu juga zona setiap matakuliah, kan lucu kalau Anda tak menguasai medan sebuah matakuliah.

Target lulus dengan grade nilai apa?

Sembari seruput kopi Toraja, saya tegas-tegaskan kepadanya bahwa seorang mahasiswa hobi menarget nilai A. Lalu, apakah itu tidak spekulatif jika tak disertai rasionalisasi? Bukankah itu sebuah gambling? Perjudian? Hingga kuberceloteh lagi kira-kira seperti ini:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline