APA yang Anda jawabkan bila seorang anak tanggung dan polos serta tak paham soal pekanya sesama umat beragama? Itulah nikmatnya masa anak-anak, bisa lahir pertanyaan yang sungguh orisinal tanpa rekayasa atau orderan. Dunai anak, 'dunia filsafat', dunia keinginantahuan yang besar, tinggi dan mendalam. Itu pulalah yang penulis jumpai, pekan lalu. Seorang anak yang sedang bermain di depan rumahku, penulis pastikan anak itu beragama Nasrani, ia bertanya tiba-tiba: "Om tidak kebaktian?". Penulis tersenyum dan menjawab: "Om kebaktian di masjid". Anak yang masih memegang raket bulu tangkis itu, juga tersenyum. sepertinya ia benar-benar belum paham apa arti perbedaan agama, anak polos itu sungguh lugu. Anak-anak Islam pun kerap ajukan pertanyaan yang identik kepada pemeluk Nasrani: "Om tidak sholat?.
Penulis gemar mengamati dunia anak-anak (baik Islam maupun Non-Islam), mereka begitu murni dalam memeluk agama dan memandang orang lain, juga dengan sangat lugunya. Tiada tendensi-tendensi, pun nihil 'kepentingan' semisal berdebat soal keyakinan, perkara kehebatan agamanya, kesaktian Tuhannya dan seterusnya. Entah kenapa, sekonyong-konyong tanyaku mendentum: "Mengapa ketika anak-anak ini besar, sudah mulai piawai berdebat soal agama dan keyakinan?". Apakah ada yang kurang tepat yang dididiknya menjelang remaja atau bagaimana?
Selanjutnya!
Tetamu dari beragam daerah telah sampai di rumah itu, mereka berasal dari Palu (Sulawesi Tengah), Ambon (Maluku), Medan (Sumatera Utara), bahkan hadir kerabat dan sanak family dari Singapura dan Brasil. Sangat jelas ucapan-ucapan selamat datang dari master of ceremony pada acara perkawinan itu. Pra pernikahan tetanggaku yang beragama Nasrani itu, selenggarakan ibadah di depan rumahnya, pakai tenda, beratap putih, disertai kursi-kursi yang berlapis kain biru, cukup luas. Perangkat sound system juga telah siaga, undangan pernikahan itu, juga telah penulis terima.
dak kebaktian?". Hahaha... anak ini 'bawel' juga, penulis mesti memberinya 'pelajaran', sepertinya anak ini memang butuh penjelasan. Dengan ringan, penulis sentuh tangannya, dan bertanya dari mana? Anak manis itu menjawab: "Dari sana Om" sambil menunjuk tenda kebaktian. Dari logatnya, penulis meyakini bahwa anak ini tidak berdomisili di Makassar.
Lalu, penulis bertanya lagi pada anak itu: "Adek agamanya apa?". Ia gesit menjawab: "Kristen Om!". Penulis tersenyum lagi, dan pelan-pelan bertutur: "Agama Om, Islam, Om juga kebaktian seperti ayah ibu di sana, di tenda itu. Tapi tempat om di masjid, bisa juga di rumah". Penulis tak pastikan apakah anak itu mengerti atas ucapanku yang menurutku sudah sangat sederhana kepada anak seumuran dia. Berlarilah anak itu, ke tenda ibadah karena penulis yang memintanya untuk bergabung dengan orang-orang sedang beribadah di tenda pengantin itu. Barangkali pembaca bisa memaknai dengan pikiran jernih dan batin bermuatan positif atas segala ini. Bahwa kita butuh lidah yang humanis untuk menyelamatkan agama...agama apapun itu. Salam toleransi!
-------------------
Catatan:
Cerpen ini, penulis angkat dari kisah nyata dan penulis memodifikasinya dengan tidak mengurangi subtansinya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H