Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Muara Belajar Filsafat

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

KALA cadaver (mayat) di laboratorium anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin itu, dibujur-baringkan. Praktikan, termasuk penulis, seksama mengamati raut wajah sang dosen yang ahli dalam ilmu struktur organ tubuh manusia itu. Ia mengiris cadaver beku, begitu lembut- pelan-halus. Ia lebih hormat kepada jenazah terawetkan formalin itu –tergeletak kaku di atas meja praktikum- ketimbang mahasiswanya.  Suara dosen berambut ikal dengan sorot mata sejuk itu, mengajar dengan suara seadanya. Suara pas-pas itu, malah mengerucutkan konsentrasi  mahasiswa.

Dinginnya sang dosen itu, mengarak bahasa yang kami tak menduga sebelumnya. Betapa agung Tuhan, ciptakan manusia ini, persarafan di otak (ensephalon) dan sumsum tulang belakang (medulla spinalis) begitu rumit dan rapi, terlindungi dengan sangat sempurna. Tutur dosenku itu. Tiada manusia yang sanggup menyamai ‘teknologi’ ciptaan Tuhan ini, ucapnya filosofis. Kita yang berada di laboratorium ini, tiada argumentasi untuk tak takjub pada ‘maha karya’ Tuhan. Maka, pandai-pandailah Saudara-saudara berterima kasih kepada Tuhan, jangan pernah katakan bahwa Tuhan nonsense! Sepenuh mahasiswa, terdiam, membisu. Tak tahu menahulah kami, apa visi-misi dosen itu meluncurkan kuliah yang tiada bertalian dengan Susunan Saraf Pusat (SSP), ia malah berfilsafat.

***

Lalu, berjumpa lagi dengan dosen filsafat. Sesungguhnya filsafat itu, pertanyaan mendalam, berurat-berakar yang tiada berakhir, kita semua adalah filosof sebab kita ditakdirkan untuk bertanya segala macam demi sebuah kebenaran. Ujarnya membuka kuliah Pengantar ke Alam Filsafat. Pembukaan bagus, sekaligus mengerutkan jidat. Lalu, ia starter kosong otakku Ia sangat datar mengurai soal ontologi, epistemiologi dan aksiologi. Otakku mulai demam, berat dan di-stroom. Ia kian melaju, mengungkit-ungkit filosof mendunia nan abadi; Rene ‘Cogito ergo sum’ Descartes, menelaah jauh pikiran Louis Kattsoff dan mempreteli kalimat bijaksana dalam buku Kattsoff, Pengantar Filsafat:

"Banyak pendidikan dewasa ini didasarkan atas suatu pandangan dunia bahwa pencarian nafkah merupakan kebaikan tertinggi. Menghasilkan seorang ahli yang cakap, terlampau sering menjadi tujuan pendidikan yang hendak kita capai. Tetapi sayang, kita cenderung lalai mendidik ahli-ahli yang dapat menjadikan kita lebih bijaksana. Mereka dapat mengajarkan kepada kita bagaimana cara berbuat (know how) tetapi bukannya mengapa berbuat demikian".

Kutipan dosenku yang jebolan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada itu, mulai menuai hasil, setengah sukses menggamit cakrawala berpikirku yang selama ini amatlah kelirunya. Lalu, kupintalah dosen itu, mengajariku soal filsafat –di dalam dan di luar kelas- karena saya mulai tertarik dan jatuh cinta pada filsafat. “Wah, itu philein, dan Anda masih harus mencari sophia. Manusia itu penuh cinta dan kebijaksanaan”, ucapnya ringan sekalipun sekujur tubuhku mulai ‘menggigil’, mumet.

***

Sang Dungu pun terisnyafkan bahwa maksud philein-sophia adalah pijakan manusia untuk belajar filsafat. Belajar filsafat adalah hak setiap orang, kilah dosenku yang teramat cool itu di mataku. Dosenku itu memintaku membuat text-book, ia hadiahkan perlbagai referentor, dan benar saja, saya berhasil menyusun buku ajar itu, penuh ketidakpercayadirian.

Ia menempaku 5 (lima) tahunan tentang akar-akar filsafat, tapi tak jua paham-paham. Putus asapun membalutku. Dosenku yang super rajin baca buku itu, cermat memandangiku, nampaknya ia jumpai kegelisahanku. “Gelisah itu ciri manusia sedang berfilsafat!”, ujarnya. Dan, beliau bernasehat padaku:

“Belajar filsafat itu media, bukan tujuan. Lembut-lembutlah pada orang, hormat-hormatlah pada Tuhan, perlakukanlah makhluk hidup dan makhluk tak hidup secara baik. Jangan aniaya benda-benda di sekitarmu misalnya komputer, janganlah memaki kecil saat microsoft-nya error, saat pointer mouse-nya sulit bergerak, saat keyboard-nya sulit diperintah, saat monitor rabun. Ingatlah jasa-jasa komputer kepadamu.  Begitu juga saat engkau hidupkan mesin motormu, mesinnya rewel dan engkau ngomel-ngomel bahkan menendangnya. Ingat-ingatlah perbuatan motor padamu, membawamu beribu-ribu kilometer, ke sana ke mari, melayanimu relatif tanpa keluhan. Bila engkau berhasil berbuat bijaksana kepada makhluk tak bernyawa, semestinya engkaupun sukses bereaksi bijaksana kepada makhluk hidup seperti manusia, hewan dan pepohonan. Jangan lekas puas berbuat baik, kayakan dirimi dengan renungan-renungan, jantanlah ber-intropeksi diri, jangan tutup dirimu. Kumpulkanlah sifat-sifat bijaksanamu, tabunglah sebanyak mungkin, untuk engkau jadikan modal dalam mengasihi sesama, mencintai orang-orang, menyayangi hewan, merawat pepohonan. Dengan begitu, engkau sudah jadi filosof, sebab filosof itu berbicara-melangkah dimuati cinta, dipandu kebijaksanaan, didandani kecantikan budi pekerti. Karena gelar filsofot tiada akan pernah menghampiri manusia yang dinafasi kebencian, loba-tamak, dan angkara”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline